Selasa, 07 Februari 2012

Teori Kontrak Sosial dari J.J. Rousseau

Teori Kontrak Sosial dari J.J. Rousseau
Jean Jacques Rousseau (1712-1778), dilahirkan di Jenewa dalam keindahan pegunungan Alpen, dia dikenal termasuk pada golongan romantik, yaitu kecenderungan mendahulukan emosi daripada pemikiran atau kegunaan. Golongan ini dengan slogannya kembali ke alam, lebih menyukai suasana desa yang asri dan indah daripada suasana kota yang bising dan menjemukkan.

.....

Ibunya meninggal saat ia bayi dan ia diasuh oleh saudara ibunya dan ayahnya yang miskin. Masa kecilnya tidak begitu indah ketika meninggalkan sekolah pada umur 12 dan pada gilirannya meninggalkan Jenewa pada umur 16. Hidup Rousseau memang sangat aneh, juga ia memiliki kepribadian yang aneh pula. Ia adalah orang yang penuh perasaan, semangat, dan sangat blak-blakan tentang dirinya. Apa yang dilihat orang lain, walaupun sejelek apapun, adalah pribadi sebenarnya darinya. Sifat ini dapat diamati dari bukunya yang berjudul Le Confessions (Pengakuan).

Kontrak Sosial Rousseau

Rousseau dengan romantik-nya dalam mengamati pendirian negara dan masyarakat juga dapat kita lihat pada bukunya Du Contrat Social (Perjanjian Sosial). Tulisan ini menggambarkan semangat kembali ke alam pedesaan yang asri, dengan meninggalkan perkotaan, perdagangan, industri, uang, dan kemewahan. Namun, Rousseau tidak asal menolak kota, ia setuju arti kota pada Yunani Kuno.

Dalam bukunya, Rousseau berpendapat bahwa dalam mendirikan negara dan masyarakat kontrak sosial sangat dibutuhkan. Namun, Rousseau berpendapat bahwa negara dan masyarakat yang bersumber dari kontrak sosial hanya mungkin terjadi tanpa paksaan. Negara yang disokong oleh kemauan bersama akan menjadikan manusia seperti manusia sempurna dan membebaskan manusia dari ikatan keinginan, nafsu, dan naluri seperti yang mencekamnya dalam keadaan alami. Manusia akan sadar dan tunduk pada hukum yang bersumber dari kemauan bersama. Kemauan bersama yang berkwalitas dapat mengalahkan kepentingan diri, seperti yang menjadi pokok permasalahan pemikiran Hobbes.

Konsep pertama Rousseau tentang negara adalah hukum (law). Rousseau menyebut setiap negara yang diperintah oleh hukum dengan Republik, entah bagaimanapun bentuk administrasinya. Selanjutnya, badan legislatif (the legislator) yang “maha tahu” membuat dasar aturan/ hukum namun sama sekali tidak memiliki kekuasaan memerintah orang. Menurutnya, kekuasaan legislatif harus di tangan rakyat sedang eksekutif harus berdasar pada kemauan bersama. Rakyat seluruhnya, dianggap sejajar dengan penguasa manapun, mengadakan sidang secara periodik dan ini meminggirkan fungsi eksekutif. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat yang seperti ini sulit terjadi pada kota yang sangat besar.

Rousseau tidak membenarkan adanya persekutuan, termasuk partai yang menurutnya hanya berujung pada penyelewengan. Selain itu, menurutnya, negara jangan terlalu besar dan terlalu kecil dengan masalahnya masing-masing, disarankan sebesar polis.

Kebaikan Teori Rousseau antara lain sebagai landasan demokrasi modern dan menonjolkan fungsi warga negara dalam masyarakat dan negara. Selain itu, Rousseau mengubah sistem politik penuh kekerasan menjadi musyawarah. Teori dan perjanjian ini juga akan menunjukkan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyatnya. Teori Kontrak Sosial-nya menganut aliran pactum unionis, yaitu perjanjian masyarakat yang sebenarnya. Ia menghendaki bentuk negara di mana kekuasaanya di tangan rakyat, atau Demokrasi Mutlak.

Kelemahannya teori ini antara lain tidak berdasar historis dan setiap orang mau tidak mau terikat kontrak sosial, bukan sukarela. Namun, Rousseau seakan tidak konsekuen, dikarenakan ia mementingkan pungutan suara, padahal bersumber dari kwantitas. Selain itu, Rousseau tidak menjelaskan jika ada kemauan bersama yang telah disepakati namun ada beberapa orang yang merasa berbeda pendapat maka orang itu tidak dapat dikatakan dipimpin atas kemauan bersama. Pemikiran Rousseau tentang negara, di mana konsep negara sangat abstrak, juga dapat mempengaruhi terwujudnya pemerintahan yang totaliter, diktator.

Pemikiran Rousseau tentang agama sangat aneh, hal ini juga dilihat perubahan agamanya dari Calvinisme menjadi Katholik dan kembali Calvinisme. Ia dengan tegas menolak adanya agama Protestan di negaranya. Hal itu dikarenakan Protestan mementingkan isolasi diri dan berpotensi memecah-belah negara. Agama baginya adalah sebagai penguat negara, bukan sebaliknya. Rousseau lebih membenarkan negara seperti Nabi Muhammad dan khalifah-khalifahnya yang memiliki perpaduan antara rohaniah dan duniawiah.

Walaupun Rousseau sangat terkenal di Perancis, namun di Inggris tidak sama sekali. Pemikiran Locke tentang keterwakilan dilanjutkan oleh John Stuart Mill. Jika dilihat lebih lanjut, pemikiran Rousseau tentang kontrak sosial sebenarnya dapat dibandingkan dengan teori kontrak sosial sebelumnya, versi Thomas Hobbes dan John Locke.

Kontrak Sosial versi Hobbes dibandingkan dengan Rousseau

Thomas Hobbes (1558-1676) menggambarkan keadaan yang kacau balau, ketika setiap manusia berperang dengan manusia lain. Menurut Hobbes, setiap manusia memiliki keinginan yang sangat kuat untuk memiliki kekuasaan demi kekuasaan dan keinginannya hanya akan diberhentikan oleh ajal. Walaupun sebenarnya manusia juga berkeinginan untuk hidup damai dan rukun, namun tingkatannya masih kalah dari kekuasaan. Akibat pandangan Hobbes bagi hidup bermasyarakat dan bernegara diungkapkannya dengan keadaan alami (state of nature), suatu keadaan di mana fitrah dan tabiat manusia terdapat tanpa ada hambatan dan restriksi apapun. Dengan sendirinya, potensi perselisihan dan perang dengan kekerasan sekalipun akan terjadi untuk mempertahankan kebebasannya, tentunya dengan menguasai akan lebih efektif. Wajar jika seperti itu, Hobbes melupakan pertimbangan akal budi manusia yang sebenarnya dapat mempengaruhi tindakan mereka.

Hobbes lantas memberi solusi berupa kontrak sosial dan manusia, yang selalu dihantui ketakutan, akan terdorong untuk melakukan perjanjian dengan memilih penguasa di antara mereka. Pihak-pihak yang berjanji menyerahkan kekuatan dan kekuasaannya kepada sang penguasa. Namun, menjadi masalah ketika sang penguasa tidak mengikatkan diri pada perjanjian, hal ini menyebabkan sang penguasa memiliki kekuatan dan kekuasaan yang absolut. Walaupun sang penguasa memiliki kekuasan absolut, menurut Hobbes seseorang dapat menentang jika sudah menyakiti secara jasmaniah.Teori Kontrak Sosial-nya menganut aliran pactum subyectionis.

Teori Kontrak Sosial Rousseau dan Hobbes sama-sama mengelompokkan manusia pada dua masa, pra-negara dan bernegara. Teori milik Rousseau yang menganut aliran pactum unionis, sangat berkebalikan dengan versi Hobbes dengan pactum subyectionis. Belum lagi nilai-nilai hewan pada diri manusia pada pemikiran Hobbes tidak berlaku pada Rousseau. Konsep penguasa pada pemikiran Hobbes yang tidak terikat janji berbeda dengan perjanjian yang mengikat semua pada pemikiran Rousseau. Penguasa versi Rousseau hanya sekedar “pelayan” dari kepentingan rakyat banyak, sedangkan menurut Hobbes sangat berkuasa.

Kontrak Sosial versi Locke dibandingkan dengan Rousseau

John Locke (1632-1704) bertentangan dengan Hobbes dalam hal ini. Tidak seperti pemikiran Hobbes yang memuat nilai-nilai hewan pada manusia, Locke menganggap adanya nilai kemanusiaan. Locke menganggap penguasa absolut yang notabene manusia biasa akan dapat terpengaruh sifat kotor manusia dan memperburuk kondisi. Oleh karena itu, solusi Locke adalah menyusun badan legislatif yang membuat hukum, badan eksekutif yang melaksanakan, dan kekuasaan federatif yang menyangkut dalam pembuatan perjanjian dan persekutuan. Sempat menyinggung tentang pentingnya pengadilan, namun Locke melupakan badan yudikatif begitu saja.

Kelemahan pemikiran Locke adalah berkurangnya peran pemerintah, mengingat eksekutif tergantung legislatif. Selain itu, penyuburan dinasti ekonomi menyebabkan si miskin tanpa milik tidak memiliki suara. Locke juga jauh mementingkan masalah mayoritas daripada minoritas.
Walaupun banyak kelemahan, pemikirannya sangat berpengaruh di negara-negara Barat, teorinya tentang pemisahan kekuasaan (separation of powers) dikembangkan oleh Montesquieu. Pemikiran Locke tentang Kontrak Sosial untuk selanjutnya diikuti oleh Rousseau, tentunya dengan perbedaan, seperti perbedaan mendasar Kontrak Sosial versi Locke dan Hobbes. Teori Kontrak Sosial-nya menganut aliran pactum unionis dan pactum subyectionis.

Jika ditilik, asal usul negara menurut Locke dan Rousseau hampir sama, yaitu kehidupan individu bebas dan sederajat. Teori Kontrak Sosial Rousseau dan Locke juga sama-sama mengelompokkan manusia pada dua masa, pra-negara dan bernegara. Keduanya juga memasukkan nilai kemanusiaan pada pemikirannya, tidak seperti Hobbes. Teori Kontrak Sosial Locke yang menganut kedua aliran, pactum unionis dan pactum subyectionis, bagi Rousseau cukup pactum unionis. Para penguasa menurut keduanya sama-sama berkurang kekuasaannya, tidak mutlak. Jika Locke mengenal keterwakilan rakyat, di mana legislatif merupakan amanah rakyat, tetapi Rousseau menginginkan rakyat sendiri dan ini bukan ide cemerlang untuk negara besar. Pemikiran Locke tentang kekuasaan legislatif dan eksekutif dipisahkan namun dapat saling mempengaruhi, Inggris menurutnya sebagai contoh terbaik, walaupun kenyataan berkata lain. Locke dan Rousseau sama-sama mengaburkan kekuasaan judikatif, namun pemikiran Locke memiliki rangka untuk dikembangkannya Trias Politika oleh Montesquieu.

Trias Politika dibandingkan dengan Kontrak Sosial Rousseau

Trias Politika (Tiga Pembagian Kekuasaan) adalah kekuasaan legislatif sebagai pembentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif yang menjalankan undang-undang, dan kekuasaan judikatif yang mengadili pelanggaran. Doktrin Trias Politika pertama kali disinggung oleh John Locke, dan untuk selanjutnya diperjelas oleh Montesquieu (1689-1755). Locke pernah menyinggung tentang eksekutif dan legislatif, namun melupakan judikatif, walaupun ia tahu pentingnya pengadilan. Giliran pada taraf Montesquieu ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan (separation of powers) .

Latar belakang dari Trias Politika yaitu untuk menjamin adanya kemerdekaan, dan ketiganya harus terpisah-pisah dikarenakan jika:

• Eksekutif + Legislatif = Tidak akan terjadi kemerdekaan.
• Judikatif + Eksekutif + Legislatif = Tidak akan terjadi kemerdekaan.
• Judikatif + Legislatif = Kehidupan dan kemerdekaan negara dikuasai pengawasan suka-hati, hakim juga membuat undang-undang.
• Judikatif + Eksekutif = Hakim akan sangat keras dan menindas.

Legislatif pada Trias Politika harus terletak pada seluruh rakyat, dilakukan dengan perwakilan rakyat. Perwakilan bangsawan, Montesquieu juga bangsawan, terdiri dari dua kekuasaan, yaitu eksekutif dan judikatif. Kebebasan kekuasaan judikatif yang ditekankan Montesquieu di sinilah letak kemerdekaan individu dan hak azasi manusia dijamin dan dipertaruhkan. Berbeda dengan Locke yang memasukkan judikatif pada eksekutif, Montesquieu, sebagai seorang hakim, menganggap eksekutif dan judikatif adalah berbeda.

Doktrin Trias Politika Montesquieu banyak mempengaruhi orang Amerika saat undang-undangnya dirumuskan, sehingga Amerika dianggap mencerminkan Trias Politika dalam konsep aslinya. Misalnya, presiden Amerika tidak dapat dijatuhkan Congress, dan sebaliknya. Presiden dan menteri dilarang merangkap sebagai anggota Congress, serta presiden tidak diperkenankan membimbing Congress. Mahkamah Agung berkedudukan bebas, sekali diangkat presiden, selanjutnya tergantung kelakuannya.

Jika Kontrak Sosial Rousseau dibandingkan dengan Trias Politika maka akan terdapat banyak perbedaan. Mengingat Trias Politika Montesquieu melanjutkan pemikiran John Locke, bukan Rousseau. Pemikiran Locke dengan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan federatif serta juga menganut keterwakilan rakyat inilah yang dimaksud. Rousseau dengan demokrasi absolutnya, berpikiran masyarakat seluruhnya sebagai pemegang kekuasaan yang sama dengan penguasanya. Kekuasaan eksekutif dan legislatif sangat tergantung pada rakyat. Padahal, pemikiran Trias Politika versi Montesquieu ini memisahkan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan judikatif, khususnya dengan penyempurnaan segi judikatif. Tidak seperti Rousseau yang berpikiran kekuasaan rakyat mendominasi, Montesquieu menganggap kekuasaan harus dipisah dan tidak pada orang yang sama. Namun hal ini juga beresiko dominasi oleh tiap kekuasaan, oleh karena itulah ada checks and balance.

Checks and Balance dibandingkan dengan Kontrak Sosial Rousseau

Amerika dianggap mencerminkan dipengaruhi doktrin Trias Politika Montesquieu dalam konsep aslinya. Walaupun ketiganya sudah dipisah sesempurna mungkin, namun para penyusun UUD Amerika Serikat masih menganggap perlunya menjamin bahwa masing-masing kekuasaan tidak melampaui batas. Oleh karena itu, solusi yang diambil Amerika Serikat adalah pengadaan sistem checks and balance (pengawasan dan keseimbangan) di mana setiap kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi kekuasaan lainnya.

Dalam rangka checks and balance ini karakteristik Trias Politika Amerika Serikat berubah menjadi:

-Presiden diberi wewenang memveto rancangan undang-undang yang telah diterima
-Congress, namun veto dapat dibatalkan Congress dengan dukungan 2/3 suara dari kedua Majelis.
-Mahkamah Agung mengecek badan eksekutif dan legislatif melalui judicial review (hak uji).
-Hakim Agung yang diangkat badan eksekutif dapat dibatalkan Congress jika terkena masalah kriminal.
-Presiden juga dapat di-impeach oleh Congress.
-Presiden boleh menandatangani perjanjian internasional dianggap sah jika Senat mendukungnya.
-Pengangkatan jabatan-jabatan yang termasuk wewenang Presiden perlu persetujuan Senat.
-Pernyataan perang hanya boleh diselenggarkan Congress.

Jadi, sistem checks and balance ini mengakibatkan satu cabang kekuasaan dalam batas-batas tertentu dapat turut campur dalam tindakan cabang kekuasaan lain, tidak dimaksud untuk memperbesar efisiensi kerja (seperti di Inggris dalam fungsi dari kekuasaan eksekutif dan legislatif), tetapi untuk membatasi kekuasaan dari setiap cabang kekuasaan secara lebih efektif. Keanehan di Inggris, menurut Montesquieu yang merupakan suri-teladan dari Trias Politika sama sekali tidak ada pemisahan kekuasaan. Selain itu, negara berbasis komunis secara tegas menolak Trias Politika.

Mengamati dari beberapa negara yang menganut Trias Politika ada kesulitan dalam praktek penafsirannya. Ada kecenderungan untuk menafsirkan Trias Politika tidak lagi sebagai pemisahan kekuasaan (separation of powers), tetapi sebagai pembagian kekuasaan (division of powers) yang diartikan hanya fungsi pokok yang dibedakan menurut sifatnya serta diserahkan kepada badan yang berbeda (distinct hands), tetapi untuk selebihnya kerjasama di antara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi.
Jika pemikiran Rousseau dibandingkan dengan Trias Politika yang sudah menganut checks and balance jelas berbeda. Pertama, Trias Politika Montesquieu menganut pemikiran Locke, yang agak berbeda dengan Rousseau. Kedua, checks and balance adalah pengembangan dari Trias Politika Montesquieu. Namun, pemikiran Rousseau, dengan tanggung jawab pemerintah kepada rakyatnya, musyawarah rakyat, merupakan landasan demokrasi modern yang juga dipertimbangkan.

Kesimpulan

Pemikiran J.J. Rousseau adalah pemikiran yang cukup berbeda dengan pemikiran Hobbes dan Locke. Namun, dapat dikatakan jika Rousseau berusaha mencari konsep negara yang baik menurutnya. Hal itu mungkin dapat dihubung-hubungkan dengan kepribadiannya yang unik. Pemikiran Rousseau juga bukan merupakan dasar dari Trias Politika Montesquieu dan checks and balance. Namun, pemikiran Rousseau, campur tangan masyarakat pada negara, dapat dikatakan cukup dipertimbangkan dalam tatanan demokrasi modern.

DAFTAR PUSTAKA

Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial. Yogyakarta: Kanisius.
Budiardjo, Miriam. 1982. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Noer, Deliar. 1982. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Jakarta: C.V. Rajawali.
Henslin, James M.. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Terjemahan oleh Kamanto Sunarto. 2007. Jakarta: Erlangga.
Rousseau, Jean-Jacques. 1762. The Social Contract and The Discourses. Terjemahan oleh G. D. H. Cole. 1993. London: David Campbell Publishers Ltd.Rauf, Maswadi. 2000. Konsensus Politik : Sebuah Penjagaan Teoritis. Jakarta: Dirjen Dikti, Depdiknas.
Chilcote, Ronald H.. 2003. Teori Perbandingan Politik: Penelusuran Paradigma. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Selasa, 17 Januari 2012

PATIENT SAFETY (KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT)


1. LATAR BELAKANG PATIENT SAFETY
Hampir setiap tindakan medic menyimpan potensi resiko. Banyaknya jenis obat, jenis pemeriksaan dan prosedur, serta jumlah pasien dan staf Rumah Sakit yang cukup besar, merupakan hal yang potensial bagi terjadinya kesalahan medis (medical errors). Menurut Institute of Medicine (1999), medical error didefinisikan sebagai: The failure of a planned action to be completed as intended (i.e., error of execusion) or the use of a wrong plan to achieve an aim (i.e., error of planning). Artinya kesalahan medis didefinisikan sebagai: suatu Kegagalan tindakan medis yang telah direncanakan untuk diselesaikan tidak seperti yang diharapkan (yaitu., kesalahan tindakan) atau perencanaan yang salah untuk mencapai suatu tujuan (yaitu., kesalahan perencanaan). Kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan medis ini akan mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien, bisa berupa Near Miss atau Adverse Event (Kejadian Tidak Diharapkan/KTD).
Near Miss atau Nyaris Cedera (NC) merupakan suatu kejadian akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), yang dapat mencederai pasien, tetapi cedera serius tidak terjadi, karena keberuntungan (misalnya,pasien terima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat), pencegahan (suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan), dan peringanan (suatu obat dengan overdosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu diberikan antidotenya).
Adverse Event atau Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) merupakan suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), dan bukan karena “underlying disease” atau kondisi pasien.
Kesalahan tersebut bisa terjadi dalam tahap diagnostic seperti kesalahan atau keterlambatan diagnose, tidak menerapkan pemeriksaan yang sesuai, menggunakan cara pemeriksaan yang sudah tidak dipakai atau tidak bertindak atas hasil pemeriksaan atau observasi; tahap pengobatan seperti kesalahan pada prosedur pengobatan, pelaksanaan terapi, metode penggunaan obat, dan keterlambatan merespon hasil pemeriksaan asuhan yang tidak layak; tahap preventive seperti tidak memberikan terapi provilaktik serta monitor dan follow up yang tidak adekuat; atau pada hal teknis yang lain seperti kegagalan berkomunikasi, kegagalan alat atau system yang lain.
Dalam kenyataannya masalah medical error dalam sistem pelayanan kesehatan mencerminkan fenomena gunung es, karena yang terdeteksi umumnya adalah adverse event yang ditemukan secara kebetulan saja. Sebagian besar yang lain cenderung tidak dilaporkan, tidak dicatat, atau justru luput dari perhatian kita semua.
Pada November 1999, the American Hospital Asosiation (AHA) Board of Trustees mengidentifikasikan bahwa keselamatan dan keamanan pasien (patient safety) merupakan sebuah prioritas strategik. Mereka juga menetapkan capaian-capaian peningkatan yang terukur untuk medication safety sebagai target utamanya. Tahun 2000, Institute of Medicine, Amerika Serikat dalam “TO ERR IS HUMAN, Building a Safer Health System” melaporkan bahwa dalam pelayanan pasien rawat inap di rumah sakit ada sekitar 3-16% Kejadian Tidak Diharapkan (KTD/Adverse Event). Menindaklanjuti penemuan ini, tahun 2004, WHO mencanangkan World Alliance for Patient Safety, program bersama dengan berbagai negara untuk meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit.
Di Indonesia, telah dikeluarkan pula Kepmen nomor 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit, yang tujuan utamanya adalah untuk tercapainya pelayanan medis prima di rumah sakit yang jauh dari medical error dan memberikan keselamatan bagi pasien. Perkembangan ini diikuti oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia(PERSI) yang berinisiatif melakukan pertemuan dan mengajak semua stakeholder rumah sakit untuk lebih memperhatian keselamatan pasien di rumah sakit.
Mempertimbangkan betapa pentingnya misi rumah sakit untuk mampu memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik terhadap pasien mengharuskan rumah sakit untuk berusaha mengurangi medical error sebagai bagian dari penghargaannya terhadap kemanusiaan, maka dikembangkan system Patient Safety yang dirancang mampu menjawab permasalahan yang ada.
2. PENGERTIAN PATIENT SAFETY
Patient Safety atau keselamatan pasien adalah suatu system yang membuat asuhan pasien di rumah sakit menjadi lebih aman.
Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
3. TUJUAN PATIENT SAFETY
Tujuan “Patient safety” adalah
1.      Terciptanya budaya keselamatan pasien di RS
2.      Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit thdp pasien dan masyarakat;
3.      Menurunnya KTD di RS
4.      Terlaksananya program-program pencegahan shg tidak terjadi pengulangan KTD.
4. LANGKAH-LANGKAH PELAKSANAAN PATIENT SAFETY
Pelaksanaan “Patient safety” meliputi
1. Sembilan solusi keselamatan Pasien di RS (WHO Collaborating Centre for Patient Safety, 2 May 2007), yaitu:
1)      Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike medication names)
2)      Pastikan identifikasi pasien
3)      Komunikasi secara benar saat serah terima pasien
4)      Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar
5)      Kendalikan cairan elektrolit pekat
6)      Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan
7)      Hindari salah kateter dan salah sambung slang
8)      Gunakan alat injeksi sekali pakai
9)      Tingkatkan kebersihan tangan untuk pencegahan infeksi nosokomial.
2. Tujuh Standar Keselamatan Pasien (mengacu pada “Hospital Patient Safety Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health Organizations, Illinois, USA, tahun 2002) ,yaitu:
1.      Hak pasien
Standarnya adalah
Pasien & keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana & hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan).
Kriterianya adalah
1)      Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan
2)      Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan
3)      Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan yang jelas dan benar kepada pasien dan keluarga tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya KTD
2.      Mendidik pasien dan keluarga
Standarnya adalah
RS harus mendidik pasien & keluarganya tentang kewajiban & tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.
Kriterianya adalah:
Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dgn keterlibatan pasien adalah partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di RS harus ada system dan mekanisme mendidik pasien & keluarganya tentang kewajiban & tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien & keluarga dapat:
1)      Memberikan info yg benar, jelas, lengkap dan jujur
2)      Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab
3)      Mengajukan pertanyaan untuk hal yg tdk dimengerti
4)      Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan
5)      Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan RS
6)      Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa
7)      Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati
3.      Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
Standarnya adalah
RS menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.
Kriterianya adalah:
1)      koordinasi pelayanan secara menyeluruh
2)      koordinasi pelayanan disesuaikan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya
3)      koordinasi pelayanan mencakup peningkatan komunikasi
4)      komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan
4.      Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien
Standarnya adalah
RS harus mendesign proses baru atau memperbaiki proses yg ada, memonitor & mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif KTD, & melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta KP.
Kriterianya adalah
1)      Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (design) yang baik, sesuai dengan ”Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.
2)      Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja
3)      Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif
4)      Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis
5.      Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
Standarnya adalah
1)      Pimpinan dorong & jamin implementasi progr KP melalui penerapan “7 Langkah Menuju KP RS ”.
2)      Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif identifikasi risiko KP & program mengurangi KTD.
3)      Pimpinan dorong & tumbuhkan komunikasi & koordinasi antar unit & individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang KP
4)      Pimpinan mengalokasikan sumber daya yg adekuat utk mengukur, mengkaji, & meningkatkan kinerja RS serta tingkatkan KP.
5)      Pimpinan mengukur & mengkaji efektifitas kontribusinyadalam meningkatkan kinerja RS & KP.
Kriterianya adalah
1)      Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.
2)      Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program meminimalkan insiden,
3)      Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi
4)      Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.
5)      Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan insiden,
6)      Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden
7)      Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan antar pengelola pelayanan
8)      Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan
9)      Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien
6.      Mendidik staf tentang keselamatan pasien
Standarnya adalah
1)      RS memiliki proses pendidikan, pelatihan & orientasi untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan KP secara jelas.
2)      RS menyelenggarakan pendidikan & pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan & memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien.
Kriterianya adalah
1)      memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik keselamatan pasien
2)      mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan inservice training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden.
3)      menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani pasien.
7.      Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.
Standarnya adalah
1)      RS merencanakan & mendesain proses manajemen informasi KP untuk memenuhi kebutuhan informasi internal & eksternal.
2)      Transmisi data & informasi harus tepat waktu & akurat.
Kriterianya adalah
1)      disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan keselamatan pasien.
2)      Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi manajemen informasi yang ada
3. Tujuh langkah menuju keselamatan pasien RS (berdasarkan KKP-RS No.001-VIII-2005) sebagai panduan bagi staf Rumah Sakit
1.      Bangun kesadaran akan nilai keselamatan Pasien, “ciptakan kepemimpinan & budaya yang terbuka dan adil”
Bagi Rumah sakit:
  • Kebijakan: tindakan staf segera setelah insiden, langkah kumpul fakta,   dukungan kepada staf, pasien, keluarga
  • Kebijakan: peran & akuntabilitas individual pada insiden
  • Tumbuhkan budaya pelaporan & belajar dari insiden
  • Lakukan asesmen dg menggunakan survei penilaian KP
Bagi Tim:
  • Anggota mampu berbicara, peduli & berani lapor bila ada insiden
  • Laporan terbuka & terjadi proses pembelajaran serta pelaksanaan tindakan/solusi yg tepat
2.      Pimpin dan dukung staf anda, “bangunlah komitmen &focus yang kuat & jelas tentang KP di RS anda”
Bagi Rumah Sakit:
  • Ada anggota Direksi yg bertanggung jawab atas KP
  • Di bagian-2 ada orang yg dpt menjadi “Penggerak” (champion) KP
  • Prioritaskan KP dlm agenda rapat Direksi/Manajemen
  • Masukkan KP dlm semua program latihan staf
Bagi Tim:
  • Ada “penggerak” dlm tim utk memimpin Gerakan KP
  • Jelaskan relevansi & pentingnya, serta manfaat gerakan KP
  • Tumbuhkan sikap ksatria yg menghargai pelaporan insiden
3.      Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko, “kembangkan sistem & proses pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi & asesmen hal yg potensial brmasalah”
Bagi Rumah Sakit:
  • Struktur & proses mjmn risiko klinis & non klinis, mencakup KP
  • Kembangkan indikator kinerja bagi sistem pengelolaan risiko
  • Gunakan informasi dr sistem pelaporan insiden & asesmen risiko & tingkatkan kepedulian thdp pasien
Bagi Tim:
  • Diskusi isu KP dlm forum2, utk umpan balik kpd mjmn terkait
  • Penilaian risiko pd individu pasien
  • Proses asesmen risiko teratur, tentukan akseptabilitas tiap risiko, & langkah memperkecil risiko tsb
4.      Kembangkan sistem pelaporan, “pastikan staf Anda agar dg mudah dpt melaporkan kejadian/insiden serta RS mengatur pelaporan kpd KKP-RS”

Bagi Rumah sakit:
  • Lengkapi rencana implementasi sistem pelaporan insiden, ke dlm maupun ke luar yg hrs dilaporkan ke KKPRS – PERSI
Bagi Tim:
  • Dorong anggota utk melaporkan setiap insiden & insiden yg telah dicegah tetapi tetap terjadi juga, sbg bahan pelajaran yg penting
5.      Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien, “kembangkan cara-cara komunikasi yg terbuka         dg pasien”
Bagi Rumah Sakit
  • Kebijakan : komunikasi terbuka ttg insiden dg pasien & keluarga
  • Pasien & keluarga mendpt informasi bila terjadi insiden
  • Dukungan,pelatihan & dorongan semangat kpd staf agar selalu terbuka kpd pasien & kel. (dlm seluruh proses asuhan pasien
Bagi Tim:
  • Hargai & dukung keterlibatan pasien & kel. bila tlh terjadi insiden
  • Prioritaskan pemberitahuan kpd pasien & kel. bila terjadi insiden
  • Segera stlh kejadian, tunjukkan empati kpd pasien & kel.
6.      Belajar dan berbagi pengalaman tentang Keselamatan pasien, “dorong staf anda utk melakukan analisis akar masalah utk belajar bagaimana & mengapa kejadian itu timbul”
Bagi Rumah Sakit:
  • Staf terlatih mengkaji insiden scr tepat, mengidentifikasi sebab
  • Kebijakan: kriteria pelaksanaan Analisis Akar Masalah (Root Cause Analysis/RCA) atau Failure Modes & Effects Analysis (FMEA) atau metoda analisis lain, mencakup semua insiden & minimum 1 x per tahun utk proses risiko tinggi
Bagi Tim:
  • Diskusikan dlm tim pengalaman dari hasil analisis insiden
  • Identifikasi bgn lain yg mungkin terkena dampak & bagi pengalaman tersebut
7.      Cegah cedera melalui implementasi system Keselamatan pasien, “Gunakan informasi yg ada ttg kejadian/masalah utk melakukan perubahan pd sistem pelayanan”
Bagi Rumah Sakit:
  • Tentukan solusi dg informasi dr sistem pelaporan, asesmen risiko, kajian insiden, audit serta analisis
  • Solusi mencakup penjabaran ulang sistem, penyesuaian pelatihan staf & kegiatan klinis, penggunaan instrumen yg menjamin KP
  • Asesmen risiko utk setiap perubahan
  • Sosialisasikan solusi yg dikembangkan oleh KKPRS-PERSI
  • Umpan balik kpd staf ttg setiap tindakan yg diambil atas insiden

Bagi Tim:
  • Kembangkan asuhan pasien menjadi lebih baik & lebih aman
  • Telaah perubahan yg dibuat tim & pastikan pelaksanaannya
  • Umpan balik atas setiap tindak lanjut ttg insiden yg dilaporkan

LANGKAH LANGKAH KEGIATAN PELAKSANAAN PATIENT SAFETY ADALAH
a. Di Rumah Sakit
1.      Rumah sakit agar membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit, dengan susunan organisasi sebagai berikut: Ketua: dokter, Anggota: dokter, dokter gigi, perawat, tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan lainnya.
2.      Rumah sakit agar mengembangkan sistem informasi pencatatan dan pelaporan internal tentang insiden
3.      Rumah sakit agar melakukan pelaporan insiden ke Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) secara rahasia
4.      Rumah Sakit agar memenuhi standar keselamatan pasien rumah sakit dan menerapkan tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit.
5.      Rumah sakit pendidikan mengembangkan standar pelayanan medis berdasarkan hasil dari analisis akar masalah dan sebagai tempat pelatihan standar-standar yang baru dikembangkan.
b. Di Provinsi/Kabupaten/Kota
1.      Melakukan advokasi program keselamatan pasien ke rumah sakit-rumah sakit di wilayahnya
2.      Melakukan advokasi ke pemerintah daerah agar tersedianya dukungan anggaran terkait dengan program keselamatan pasien rumah sakit.
3.      Melakukan pembinaan pelaksanaan program keselamatan pasien rumah sakit
c. Di Pusat
1.      Membentuk komite keselamatan pasien Rumah Sakit dibawah Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
2.      Menyusun panduan nasional tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit
3.      Melakukan sosialisasi dan advokasi program keselamatan pasien ke Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota, PERSI Daerah dan rumah sakit pendidikan dengan jejaring pendidikan.
4.      Mengembangkan laboratorium uji coba program keselamatanpasien.
Selain itu, menurut Hasting G, 2006, ada delapan langkah yang bisa dilakukan untuk mengembangkan budaya Patient safety ini

1. Put the focus back on safety
Setiap staf yang bekerja di RS pasti ingin memberikan yang terbaik dan teraman untuk pasien. Tetapi supaya keselamatan pasien ini bisa dikembangkan dan semua staf merasa mendapatkan dukungan, patient safety ini harus menjadi prioritas strategis dari rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan lainnya. Empat CEO RS yang terlibat dalam safer patient initiatives di Inggris mengatakan bahwa tanggung jawab untuk keselamatan pasien tidak bisa didelegasikan dan mereka memegang peran kunci dalam membangun dan mempertahankan fokus patient safety di dalam RS.
2. Think small and make the right thing easy to do
Memberikan pelayanan kesehatan yang aman bagi pasien mungkin membutuhkan langkah-langkah yang agak kompleks. Tetapi dengan memecah kompleksitas ini dan membuat langkah-langkah yang lebih mudah mungkin akan memberikan peningkatan yang lebih nyata.
3. Encourage open reporting
Belajar dari pengalaman, meskipun itu sesuatu yang salah adalah pengalaman yang berharga. Koordinator patient safety dan manajer RS harus membuat budaya yang mendorong pelaporan. Mencatat tindakan-tindakan yang membahayakan pasien sama pentingnya dengan mencatat tindakan-tindakan yang menyelamatkan pasien. Diskusi terbuka mengenai insiden-insiden yang terjadi bisa menjadi pembelajaran bagi semua staf.
4. Make data capture a priority
Dibutuhkan sistem pencatatan data yang lebih baik untuk mempelajari dan mengikuti perkembangan kualitas dari waktu ke waktu. Misalnya saja data mortalitas. Dengan perubahan data mortalitas dari tahun ke tahun, klinisi dan manajer bisa melihat bagaimana manfaat dari penerapan patient safety.
5. Use systems-wide approaches
Keselamatan pasien tidak bisa menjadi tanggung jawab individual. Pengembangan hanya bisa terjadi jika ada sistem pendukung yang adekuat. Staf juga harus dilatih dan didorong untuk melakukan peningkatan kualitas pelayanan dan keselamatan terhadap pasien. Tetapi jika pendekatan patient safety tidak diintegrasikan secara utuh kedalam sistem yang berlaku di RS, maka peningkatan yang terjadi hanya akan bersifat sementara.
6. Build implementation knowledge
Staf juga membutuhkan motivasi dan dukungan untuk mengembangkan metodologi, sistem berfikir, dan implementasi program. Pemimpin sebagai pengarah jalannya program disini memegang peranan kunci. Di Inggris, pengembangan mutu pelayanan kesehatan dan keselamatan pasien sudah dimasukkan ke dalam kurikulum kedokteran dan keperawatan, sehingga diharapkan sesudah lulus kedua hal ini sudah menjadi bagian dalam budaya kerja.
7. Involve patients in safety efforts
Keterlibatan pasien dalam pengembangan patient safety terbukti dapat memberikan pengaruh yang positif. Perannya saat ini mungkin masih kecil, tetapi akan terus berkembang. Dimasukkannya perwakilan masyarakat umum dalam komite keselamatan pasien adalah salah satu bentuk kontribusi aktif dari masyarakat (pasien). Secara sederhana pasien bisa diarahkan untuk menjawab ketiga pertanyaan berikut: apa masalahnya? Apa yang bisa kubantu? Apa yang tidak boleh kukerjakan?
8. Develop top-class patient safety leaders
Prioritisasi keselamatan pasien, pembangunan sistem untuk pengumpulan data-data berkualitas tinggi, mendorong budaya tidak saling menyalahkan, memotivasi staf, dan melibatkan pasien dalam lingkungan kerja bukanlah sesuatu hal yang bisa tercapai dalam semalam. Diperlukan kepemimpinan yang kuat, tim yang kompak, serta dedikasi dan komitmen yang tinggi untuk tercapainya tujuan pengembangan budaya patient safety. Seringkali RS harus bekerja dengan konsultan leadership untuk mengembangkan kerjasama tim dan keterampilan komunikasi staf. Dengan kepemimpinan yang baik, masing-masing anggota tim dengan berbagai peran yang berbeda bisa saling melengkapi dengan anggota tim lainnya melalui kolaborasi yang erat.
5. ASPEK HUKUM TERHADAP PATIENT SAFETY
Aspek hukum terhadap “patient safety” atau keselamatan pasien adalah sebagai berikut
UU Tentang Kesehatan & UU Tentang Rumah Sakit
1.      Keselamatan Pasien sebagai Isu Hukum
a.       Pasal 53 (3) UU No.36/2009
“Pelaksanaan Pelayanan kesehatan harus mendahulukan keselamatan nyawa pasien.”
b.      Pasal 32n UU No.44/2009
“Pasien berhak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit.
c.       Pasal 58 UU No.36/2009
1)      “Setiap orang berhak menuntut G.R terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam Pelkes yang diterimanya.”
2)      “…..tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.”
2.      Tanggung jawab Hukum Rumah sakit
a.       Pasal 29b UU No.44/2009
”Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit.”
b.      Pasal 46 UU No.44/2009
“Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di RS.”
c.       Pasal 45 (2) UU No.44/2009
“Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia.”

3.      Bukan tanggung jawab Rumah Sakit
Pasal 45 (1) UU No.44/2009 Tentang Rumah sakit
“Rumah Sakit Tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang kompresehensif. “
4.      Hak Pasien
a.       Pasal 32d UU No.44/2009
“Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional”
b.      Pasal 32e UU No.44/2009
“Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi”
c.       Pasal 32j UU No.44/2009
“Setiap pasien mempunyai hak tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan”
d.      Pasal 32q UU No.44/2009
“Setiap pasien mempunyai hak menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana”
5.      Kebijakan yang mendukung keselamatan pasien
Pasal 43 UU No.44/2009
1)      RS wajib menerapkan standar keselamatan pasien
2)      Standar keselamatan pasien dilaksanakan melalui pelaporan insiden, menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan.
3)      RS melaporkan kegiatan keselamatan pasien kepada komite yang membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri
4)      Pelaporan insiden keselamatan pasien dibuat secara anonym dan ditujukan untuk mengoreksi system dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien.
Pemerintah bertanggung jawab mengeluarkan kebijakan tentang keselamatan pasien. Keselamatan pasien yang dimaksud adalah suatu system dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. System tersebut meliputi:
a.       Assessment risiko
b.      Identifikasi dan pengelolaan yang terkait resiko pasien
c.       Pelaporan dan analisis insiden
d.      Kemampuan belajar dari insiden
e.       Tindak lanjut dan implementasi solusi meminimalkan resiko
6. MANAJEMEN PATIENT SAFETY
Pelaksanaan Patient Safety ini dilakukan dengan system Pencacatan dan Pelaporan serta Monitoring san Evaluasi
7. SISTEM PENCACATAN DAN PELAPORAN PADA PATIENT SAFETY
a. Di Rumah Sakit
1.      Setiap unit kerja di rumah sakit mencatat semua kejadian terkait dengan keselamatan pasien (Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Diharapkan dan Kejadian Sentinel) pada formulir yang sudah disediakan oleh rumah sakit.
2.      Setiap unit kerja di rumah sakit melaporkan semua kejadian terkait dengan keselamatan pasien (Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Diharapkan dan Kejadian Sentinel) kepada Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit pada formulir yang sudah disediakan oleh rumah sakit.
3.      Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit menganalisis akar penyebab masalah semua kejadian yang dilaporkan oleh unit kerja
4.      Berdasarkan hasil analisis akar masalah maka Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit merekomendasikan solusi pemecahan dan mengirimkan hasil solusi pemecahan masalah kepada Pimpinan rumah sakit.
5.      Pimpinan rumah sakit melaporkan insiden dan hasil solusi masalah ke Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) setiap terjadinya insiden dan setelah melakukan analisis akar masalah yang bersifat rahasia.
b. Di Propinsi
Dinas Kesehatan Propinsi dan PERSI Daerah menerima produk-produk dari Komite Keselamatan Rumah Sakit
c. Di Pusat
1.      Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) merekapitulasi laporan dari rumah sakit untuk menjaga kerahasiaannya
2.      Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) melakukan analisis yang telah dilakukan oleh rumah sakit
3.      Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) melakukan analisis laporan insiden  bekerjasama dengan rumah sakit pendidikan dan rumah sakit yang ditunjuk sebagai laboratorium uji coba keselamatan pasien rumah sakit
4.      Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) melakukan sosialisasi hasil analisis dan solusi masalah ke Dinas Kesehatan Propinsi dan PERSI Daerah, rumah sakit terkait dan rumah sakit lainnya.

8. MONITORING DAN EVALUASI
a. Di Rumah sakit
Pimpinan Rumah sakit melakukan monitoring dan evaluasi pada unit-unit kerja di rumah sakit, terkait dengan pelaksanaan keselamatan pasien di unit kerja
b. Di propinsi
Dinas Kesehatan Propinsi dan PERSI Daerah melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan Program Keselamatan Pasien Rumah Sakit di wilayah kerjanya
c. Di Pusat
1.      Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan Keselamatan Pasien Rumah Sakit di rumah sakit-rumah sakit
2.      Monitoring dan evaluasi dilaksanakan minimal satu tahan satu kali.
REFERENSI
1.      Komalawati, Veronica. (2010) Community&Patient Safety Dalam Perspektif Hukum Kesehatan.
2.      Lestari, Trisasi. Knteks Mikro dalam Implementasi Patient Safety: Delapan Langkah Untuk Mengembangkan Budaya Patient Safety. Buletin IHQN Vol II/Nomor.04/2006 Hal.1-3
3.       Pabuti, Aumas. (2011) Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien (KP) Rumah Sakit. Proceedings of expert lecture of  medical student of Block 21st of Andalas University, Indonesia
4.       Panduang Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety). 2005
5.      Tim keselamatan Pasien RS RSUD Panembahan Senopati. Patient Safety.
6.      Yahya, Adib A. (2006) Konsep dan Program “Patient Safety”. Proceedings of  National Convention VI of The Hospital Quality Hotel Permata Bidakara, Bandung 14-15 November 2006.
7.      Yahya, Adib A. (2007) Fraud & Patient Safety. Proceedings of  PAMJAKI meeting “Kecurangan (Fraud) dalam Jaminan/Asuransi Kesehatan” Hotel Bumi Karsa, Jakarta 13 December 2007.