Teori Kontrak Sosial dari J.J. Rousseau
Jean Jacques Rousseau (1712-1778), dilahirkan di Jenewa dalam keindahan pegunungan Alpen, dia dikenal termasuk pada golongan romantik, yaitu kecenderungan mendahulukan emosi daripada pemikiran atau kegunaan. Golongan ini dengan slogannya kembali ke alam, lebih menyukai suasana desa yang asri dan indah daripada suasana kota yang bising dan menjemukkan.
.....
Ibunya meninggal saat ia bayi dan ia diasuh oleh saudara ibunya dan ayahnya yang miskin. Masa kecilnya tidak begitu indah ketika meninggalkan sekolah pada umur 12 dan pada gilirannya meninggalkan Jenewa pada umur 16. Hidup Rousseau memang sangat aneh, juga ia memiliki kepribadian yang aneh pula. Ia adalah orang yang penuh perasaan, semangat, dan sangat blak-blakan tentang dirinya. Apa yang dilihat orang lain, walaupun sejelek apapun, adalah pribadi sebenarnya darinya. Sifat ini dapat diamati dari bukunya yang berjudul Le Confessions (Pengakuan).
Kontrak Sosial Rousseau
Rousseau dengan romantik-nya dalam mengamati pendirian negara dan masyarakat juga dapat kita lihat pada bukunya Du Contrat Social (Perjanjian Sosial). Tulisan ini menggambarkan semangat kembali ke alam pedesaan yang asri, dengan meninggalkan perkotaan, perdagangan, industri, uang, dan kemewahan. Namun, Rousseau tidak asal menolak kota, ia setuju arti kota pada Yunani Kuno.
Dalam bukunya, Rousseau berpendapat bahwa dalam mendirikan negara dan masyarakat kontrak sosial sangat dibutuhkan. Namun, Rousseau berpendapat bahwa negara dan masyarakat yang bersumber dari kontrak sosial hanya mungkin terjadi tanpa paksaan. Negara yang disokong oleh kemauan bersama akan menjadikan manusia seperti manusia sempurna dan membebaskan manusia dari ikatan keinginan, nafsu, dan naluri seperti yang mencekamnya dalam keadaan alami. Manusia akan sadar dan tunduk pada hukum yang bersumber dari kemauan bersama. Kemauan bersama yang berkwalitas dapat mengalahkan kepentingan diri, seperti yang menjadi pokok permasalahan pemikiran Hobbes.
Konsep pertama Rousseau tentang negara adalah hukum (law). Rousseau menyebut setiap negara yang diperintah oleh hukum dengan Republik, entah bagaimanapun bentuk administrasinya. Selanjutnya, badan legislatif (the legislator) yang “maha tahu” membuat dasar aturan/ hukum namun sama sekali tidak memiliki kekuasaan memerintah orang. Menurutnya, kekuasaan legislatif harus di tangan rakyat sedang eksekutif harus berdasar pada kemauan bersama. Rakyat seluruhnya, dianggap sejajar dengan penguasa manapun, mengadakan sidang secara periodik dan ini meminggirkan fungsi eksekutif. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat yang seperti ini sulit terjadi pada kota yang sangat besar.
Rousseau tidak membenarkan adanya persekutuan, termasuk partai yang menurutnya hanya berujung pada penyelewengan. Selain itu, menurutnya, negara jangan terlalu besar dan terlalu kecil dengan masalahnya masing-masing, disarankan sebesar polis.
Kebaikan Teori Rousseau antara lain sebagai landasan demokrasi modern dan menonjolkan fungsi warga negara dalam masyarakat dan negara. Selain itu, Rousseau mengubah sistem politik penuh kekerasan menjadi musyawarah. Teori dan perjanjian ini juga akan menunjukkan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyatnya. Teori Kontrak Sosial-nya menganut aliran pactum unionis, yaitu perjanjian masyarakat yang sebenarnya. Ia menghendaki bentuk negara di mana kekuasaanya di tangan rakyat, atau Demokrasi Mutlak.
Kelemahannya teori ini antara lain tidak berdasar historis dan setiap orang mau tidak mau terikat kontrak sosial, bukan sukarela. Namun, Rousseau seakan tidak konsekuen, dikarenakan ia mementingkan pungutan suara, padahal bersumber dari kwantitas. Selain itu, Rousseau tidak menjelaskan jika ada kemauan bersama yang telah disepakati namun ada beberapa orang yang merasa berbeda pendapat maka orang itu tidak dapat dikatakan dipimpin atas kemauan bersama. Pemikiran Rousseau tentang negara, di mana konsep negara sangat abstrak, juga dapat mempengaruhi terwujudnya pemerintahan yang totaliter, diktator.
Pemikiran Rousseau tentang agama sangat aneh, hal ini juga dilihat perubahan agamanya dari Calvinisme menjadi Katholik dan kembali Calvinisme. Ia dengan tegas menolak adanya agama Protestan di negaranya. Hal itu dikarenakan Protestan mementingkan isolasi diri dan berpotensi memecah-belah negara. Agama baginya adalah sebagai penguat negara, bukan sebaliknya. Rousseau lebih membenarkan negara seperti Nabi Muhammad dan khalifah-khalifahnya yang memiliki perpaduan antara rohaniah dan duniawiah.
Walaupun Rousseau sangat terkenal di Perancis, namun di Inggris tidak sama sekali. Pemikiran Locke tentang keterwakilan dilanjutkan oleh John Stuart Mill. Jika dilihat lebih lanjut, pemikiran Rousseau tentang kontrak sosial sebenarnya dapat dibandingkan dengan teori kontrak sosial sebelumnya, versi Thomas Hobbes dan John Locke.
Kontrak Sosial versi Hobbes dibandingkan dengan Rousseau
Thomas Hobbes (1558-1676) menggambarkan keadaan yang kacau balau, ketika setiap manusia berperang dengan manusia lain. Menurut Hobbes, setiap manusia memiliki keinginan yang sangat kuat untuk memiliki kekuasaan demi kekuasaan dan keinginannya hanya akan diberhentikan oleh ajal. Walaupun sebenarnya manusia juga berkeinginan untuk hidup damai dan rukun, namun tingkatannya masih kalah dari kekuasaan. Akibat pandangan Hobbes bagi hidup bermasyarakat dan bernegara diungkapkannya dengan keadaan alami (state of nature), suatu keadaan di mana fitrah dan tabiat manusia terdapat tanpa ada hambatan dan restriksi apapun. Dengan sendirinya, potensi perselisihan dan perang dengan kekerasan sekalipun akan terjadi untuk mempertahankan kebebasannya, tentunya dengan menguasai akan lebih efektif. Wajar jika seperti itu, Hobbes melupakan pertimbangan akal budi manusia yang sebenarnya dapat mempengaruhi tindakan mereka.
Hobbes lantas memberi solusi berupa kontrak sosial dan manusia, yang selalu dihantui ketakutan, akan terdorong untuk melakukan perjanjian dengan memilih penguasa di antara mereka. Pihak-pihak yang berjanji menyerahkan kekuatan dan kekuasaannya kepada sang penguasa. Namun, menjadi masalah ketika sang penguasa tidak mengikatkan diri pada perjanjian, hal ini menyebabkan sang penguasa memiliki kekuatan dan kekuasaan yang absolut. Walaupun sang penguasa memiliki kekuasan absolut, menurut Hobbes seseorang dapat menentang jika sudah menyakiti secara jasmaniah.Teori Kontrak Sosial-nya menganut aliran pactum subyectionis.
Teori Kontrak Sosial Rousseau dan Hobbes sama-sama mengelompokkan manusia pada dua masa, pra-negara dan bernegara. Teori milik Rousseau yang menganut aliran pactum unionis, sangat berkebalikan dengan versi Hobbes dengan pactum subyectionis. Belum lagi nilai-nilai hewan pada diri manusia pada pemikiran Hobbes tidak berlaku pada Rousseau. Konsep penguasa pada pemikiran Hobbes yang tidak terikat janji berbeda dengan perjanjian yang mengikat semua pada pemikiran Rousseau. Penguasa versi Rousseau hanya sekedar “pelayan” dari kepentingan rakyat banyak, sedangkan menurut Hobbes sangat berkuasa.
Kontrak Sosial versi Locke dibandingkan dengan Rousseau
John Locke (1632-1704) bertentangan dengan Hobbes dalam hal ini. Tidak seperti pemikiran Hobbes yang memuat nilai-nilai hewan pada manusia, Locke menganggap adanya nilai kemanusiaan. Locke menganggap penguasa absolut yang notabene manusia biasa akan dapat terpengaruh sifat kotor manusia dan memperburuk kondisi. Oleh karena itu, solusi Locke adalah menyusun badan legislatif yang membuat hukum, badan eksekutif yang melaksanakan, dan kekuasaan federatif yang menyangkut dalam pembuatan perjanjian dan persekutuan. Sempat menyinggung tentang pentingnya pengadilan, namun Locke melupakan badan yudikatif begitu saja.
Kelemahan pemikiran Locke adalah berkurangnya peran pemerintah, mengingat eksekutif tergantung legislatif. Selain itu, penyuburan dinasti ekonomi menyebabkan si miskin tanpa milik tidak memiliki suara. Locke juga jauh mementingkan masalah mayoritas daripada minoritas.
Walaupun banyak kelemahan, pemikirannya sangat berpengaruh di negara-negara Barat, teorinya tentang pemisahan kekuasaan (separation of powers) dikembangkan oleh Montesquieu. Pemikiran Locke tentang Kontrak Sosial untuk selanjutnya diikuti oleh Rousseau, tentunya dengan perbedaan, seperti perbedaan mendasar Kontrak Sosial versi Locke dan Hobbes. Teori Kontrak Sosial-nya menganut aliran pactum unionis dan pactum subyectionis.
Jika ditilik, asal usul negara menurut Locke dan Rousseau hampir sama, yaitu kehidupan individu bebas dan sederajat. Teori Kontrak Sosial Rousseau dan Locke juga sama-sama mengelompokkan manusia pada dua masa, pra-negara dan bernegara. Keduanya juga memasukkan nilai kemanusiaan pada pemikirannya, tidak seperti Hobbes. Teori Kontrak Sosial Locke yang menganut kedua aliran, pactum unionis dan pactum subyectionis, bagi Rousseau cukup pactum unionis. Para penguasa menurut keduanya sama-sama berkurang kekuasaannya, tidak mutlak. Jika Locke mengenal keterwakilan rakyat, di mana legislatif merupakan amanah rakyat, tetapi Rousseau menginginkan rakyat sendiri dan ini bukan ide cemerlang untuk negara besar. Pemikiran Locke tentang kekuasaan legislatif dan eksekutif dipisahkan namun dapat saling mempengaruhi, Inggris menurutnya sebagai contoh terbaik, walaupun kenyataan berkata lain. Locke dan Rousseau sama-sama mengaburkan kekuasaan judikatif, namun pemikiran Locke memiliki rangka untuk dikembangkannya Trias Politika oleh Montesquieu.
Trias Politika dibandingkan dengan Kontrak Sosial Rousseau
Trias Politika (Tiga Pembagian Kekuasaan) adalah kekuasaan legislatif sebagai pembentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif yang menjalankan undang-undang, dan kekuasaan judikatif yang mengadili pelanggaran. Doktrin Trias Politika pertama kali disinggung oleh John Locke, dan untuk selanjutnya diperjelas oleh Montesquieu (1689-1755). Locke pernah menyinggung tentang eksekutif dan legislatif, namun melupakan judikatif, walaupun ia tahu pentingnya pengadilan. Giliran pada taraf Montesquieu ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan (separation of powers) .
Latar belakang dari Trias Politika yaitu untuk menjamin adanya kemerdekaan, dan ketiganya harus terpisah-pisah dikarenakan jika:
• Eksekutif + Legislatif = Tidak akan terjadi kemerdekaan.
• Judikatif + Eksekutif + Legislatif = Tidak akan terjadi kemerdekaan.
• Judikatif + Legislatif = Kehidupan dan kemerdekaan negara dikuasai pengawasan suka-hati, hakim juga membuat undang-undang.
• Judikatif + Eksekutif = Hakim akan sangat keras dan menindas.
Legislatif pada Trias Politika harus terletak pada seluruh rakyat, dilakukan dengan perwakilan rakyat. Perwakilan bangsawan, Montesquieu juga bangsawan, terdiri dari dua kekuasaan, yaitu eksekutif dan judikatif. Kebebasan kekuasaan judikatif yang ditekankan Montesquieu di sinilah letak kemerdekaan individu dan hak azasi manusia dijamin dan dipertaruhkan. Berbeda dengan Locke yang memasukkan judikatif pada eksekutif, Montesquieu, sebagai seorang hakim, menganggap eksekutif dan judikatif adalah berbeda.
Doktrin Trias Politika Montesquieu banyak mempengaruhi orang Amerika saat undang-undangnya dirumuskan, sehingga Amerika dianggap mencerminkan Trias Politika dalam konsep aslinya. Misalnya, presiden Amerika tidak dapat dijatuhkan Congress, dan sebaliknya. Presiden dan menteri dilarang merangkap sebagai anggota Congress, serta presiden tidak diperkenankan membimbing Congress. Mahkamah Agung berkedudukan bebas, sekali diangkat presiden, selanjutnya tergantung kelakuannya.
Jika Kontrak Sosial Rousseau dibandingkan dengan Trias Politika maka akan terdapat banyak perbedaan. Mengingat Trias Politika Montesquieu melanjutkan pemikiran John Locke, bukan Rousseau. Pemikiran Locke dengan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan federatif serta juga menganut keterwakilan rakyat inilah yang dimaksud. Rousseau dengan demokrasi absolutnya, berpikiran masyarakat seluruhnya sebagai pemegang kekuasaan yang sama dengan penguasanya. Kekuasaan eksekutif dan legislatif sangat tergantung pada rakyat. Padahal, pemikiran Trias Politika versi Montesquieu ini memisahkan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan judikatif, khususnya dengan penyempurnaan segi judikatif. Tidak seperti Rousseau yang berpikiran kekuasaan rakyat mendominasi, Montesquieu menganggap kekuasaan harus dipisah dan tidak pada orang yang sama. Namun hal ini juga beresiko dominasi oleh tiap kekuasaan, oleh karena itulah ada checks and balance.
Checks and Balance dibandingkan dengan Kontrak Sosial Rousseau
Amerika dianggap mencerminkan dipengaruhi doktrin Trias Politika Montesquieu dalam konsep aslinya. Walaupun ketiganya sudah dipisah sesempurna mungkin, namun para penyusun UUD Amerika Serikat masih menganggap perlunya menjamin bahwa masing-masing kekuasaan tidak melampaui batas. Oleh karena itu, solusi yang diambil Amerika Serikat adalah pengadaan sistem checks and balance (pengawasan dan keseimbangan) di mana setiap kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi kekuasaan lainnya.
Dalam rangka checks and balance ini karakteristik Trias Politika Amerika Serikat berubah menjadi:
-Presiden diberi wewenang memveto rancangan undang-undang yang telah diterima
-Congress, namun veto dapat dibatalkan Congress dengan dukungan 2/3 suara dari kedua Majelis.
-Mahkamah Agung mengecek badan eksekutif dan legislatif melalui judicial review (hak uji).
-Hakim Agung yang diangkat badan eksekutif dapat dibatalkan Congress jika terkena masalah kriminal.
-Presiden juga dapat di-impeach oleh Congress.
-Presiden boleh menandatangani perjanjian internasional dianggap sah jika Senat mendukungnya.
-Pengangkatan jabatan-jabatan yang termasuk wewenang Presiden perlu persetujuan Senat.
-Pernyataan perang hanya boleh diselenggarkan Congress.
Jadi, sistem checks and balance ini mengakibatkan satu cabang kekuasaan dalam batas-batas tertentu dapat turut campur dalam tindakan cabang kekuasaan lain, tidak dimaksud untuk memperbesar efisiensi kerja (seperti di Inggris dalam fungsi dari kekuasaan eksekutif dan legislatif), tetapi untuk membatasi kekuasaan dari setiap cabang kekuasaan secara lebih efektif. Keanehan di Inggris, menurut Montesquieu yang merupakan suri-teladan dari Trias Politika sama sekali tidak ada pemisahan kekuasaan. Selain itu, negara berbasis komunis secara tegas menolak Trias Politika.
Mengamati dari beberapa negara yang menganut Trias Politika ada kesulitan dalam praktek penafsirannya. Ada kecenderungan untuk menafsirkan Trias Politika tidak lagi sebagai pemisahan kekuasaan (separation of powers), tetapi sebagai pembagian kekuasaan (division of powers) yang diartikan hanya fungsi pokok yang dibedakan menurut sifatnya serta diserahkan kepada badan yang berbeda (distinct hands), tetapi untuk selebihnya kerjasama di antara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi.
Jika pemikiran Rousseau dibandingkan dengan Trias Politika yang sudah menganut checks and balance jelas berbeda. Pertama, Trias Politika Montesquieu menganut pemikiran Locke, yang agak berbeda dengan Rousseau. Kedua, checks and balance adalah pengembangan dari Trias Politika Montesquieu. Namun, pemikiran Rousseau, dengan tanggung jawab pemerintah kepada rakyatnya, musyawarah rakyat, merupakan landasan demokrasi modern yang juga dipertimbangkan.
Kesimpulan
Pemikiran J.J. Rousseau adalah pemikiran yang cukup berbeda dengan pemikiran Hobbes dan Locke. Namun, dapat dikatakan jika Rousseau berusaha mencari konsep negara yang baik menurutnya. Hal itu mungkin dapat dihubung-hubungkan dengan kepribadiannya yang unik. Pemikiran Rousseau juga bukan merupakan dasar dari Trias Politika Montesquieu dan checks and balance. Namun, pemikiran Rousseau, campur tangan masyarakat pada negara, dapat dikatakan cukup dipertimbangkan dalam tatanan demokrasi modern.
DAFTAR PUSTAKA
Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial. Yogyakarta: Kanisius.
Budiardjo, Miriam. 1982. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Noer, Deliar. 1982. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Jakarta: C.V. Rajawali.
Henslin, James M.. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. Terjemahan oleh Kamanto Sunarto. 2007. Jakarta: Erlangga.
Rousseau, Jean-Jacques. 1762. The Social Contract and The Discourses.
Terjemahan oleh G. D. H. Cole. 1993. London: David Campbell Publishers
Ltd.Rauf, Maswadi. 2000. Konsensus Politik : Sebuah Penjagaan Teoritis. Jakarta: Dirjen Dikti, Depdiknas.
Chilcote, Ronald H.. 2003. Teori Perbandingan Politik: Penelusuran Paradigma. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Selasa, 07 Februari 2012
Selasa, 17 Januari 2012
PATIENT SAFETY (KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT)
1. LATAR BELAKANG PATIENT SAFETY
Hampir
setiap tindakan medic menyimpan potensi resiko. Banyaknya jenis obat, jenis
pemeriksaan dan prosedur, serta jumlah pasien dan staf Rumah Sakit yang cukup
besar, merupakan hal yang potensial bagi terjadinya kesalahan medis (medical
errors). Menurut Institute of Medicine (1999), medical error didefinisikan
sebagai: The failure of a planned action to be completed as intended (i.e.,
error of execusion) or the use of a wrong plan to achieve an aim (i.e., error
of planning). Artinya kesalahan medis didefinisikan sebagai: suatu Kegagalan
tindakan medis yang telah direncanakan untuk diselesaikan tidak seperti yang
diharapkan (yaitu., kesalahan tindakan) atau perencanaan yang salah untuk
mencapai suatu tujuan (yaitu., kesalahan perencanaan). Kesalahan yang terjadi
dalam proses asuhan medis ini akan mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan
cedera pada pasien, bisa berupa Near Miss atau Adverse Event (Kejadian Tidak
Diharapkan/KTD).
Near
Miss atau Nyaris Cedera (NC) merupakan
suatu kejadian akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), yang dapat mencederai
pasien, tetapi cedera serius tidak terjadi, karena keberuntungan
(misalnya,pasien terima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul reaksi
obat), pencegahan (suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi
staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan), dan peringanan
(suatu obat dengan overdosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu
diberikan antidotenya).
Adverse
Event atau Kejadian Tidak Diharapkan
(KTD) merupakan suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan
pada pasien karena suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil (omission), dan bukan karena
“underlying disease” atau kondisi pasien.
Kesalahan
tersebut bisa terjadi dalam tahap diagnostic seperti kesalahan atau
keterlambatan diagnose, tidak menerapkan pemeriksaan yang sesuai, menggunakan
cara pemeriksaan yang sudah tidak dipakai atau tidak bertindak atas hasil
pemeriksaan atau observasi; tahap pengobatan seperti kesalahan pada prosedur
pengobatan, pelaksanaan terapi, metode penggunaan obat, dan keterlambatan
merespon hasil pemeriksaan asuhan yang tidak layak; tahap preventive seperti
tidak memberikan terapi provilaktik serta monitor dan follow up yang tidak
adekuat; atau pada hal teknis yang lain seperti kegagalan berkomunikasi,
kegagalan alat atau system yang lain.
Dalam
kenyataannya masalah medical error dalam sistem pelayanan kesehatan
mencerminkan fenomena gunung es, karena yang terdeteksi umumnya adalah adverse
event yang ditemukan secara kebetulan saja. Sebagian besar yang lain cenderung
tidak dilaporkan, tidak dicatat, atau justru luput dari perhatian kita semua.
Pada
November 1999, the American Hospital Asosiation (AHA) Board of Trustees mengidentifikasikan
bahwa keselamatan dan keamanan pasien (patient safety) merupakan sebuah
prioritas strategik. Mereka juga menetapkan capaian-capaian peningkatan yang
terukur untuk medication safety sebagai target utamanya. Tahun 2000,
Institute of Medicine, Amerika Serikat dalam “TO ERR IS HUMAN, Building a Safer
Health System” melaporkan bahwa dalam pelayanan pasien rawat inap di rumah
sakit ada sekitar 3-16% Kejadian Tidak Diharapkan (KTD/Adverse Event).
Menindaklanjuti penemuan ini, tahun 2004, WHO mencanangkan World Alliance
for Patient Safety, program bersama dengan berbagai negara untuk
meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit.
Di
Indonesia, telah dikeluarkan pula Kepmen nomor 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang
Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit, yang tujuan utamanya adalah untuk
tercapainya pelayanan medis prima di rumah sakit yang jauh dari medical
error dan memberikan keselamatan bagi pasien. Perkembangan ini diikuti oleh
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia(PERSI) yang berinisiatif melakukan
pertemuan dan mengajak semua stakeholder rumah sakit untuk lebih memperhatian
keselamatan pasien di rumah sakit.
Mempertimbangkan
betapa pentingnya misi rumah sakit untuk mampu memberikan pelayanan kesehatan
yang terbaik terhadap pasien mengharuskan rumah sakit untuk berusaha mengurangi
medical error sebagai bagian dari penghargaannya terhadap kemanusiaan,
maka dikembangkan system Patient Safety yang dirancang mampu menjawab
permasalahan yang ada.
2.
PENGERTIAN PATIENT SAFETY
Patient
Safety atau keselamatan pasien adalah suatu
system yang membuat asuhan pasien di rumah sakit menjadi lebih aman.
Sistem
ini mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya
diambil.
3.
TUJUAN PATIENT SAFETY
Tujuan
“Patient safety” adalah
1.
Terciptanya budaya keselamatan pasien di RS
2.
Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit thdp pasien dan masyarakat;
3.
Menurunnya KTD di RS
4.
Terlaksananya program-program pencegahan shg tidak terjadi pengulangan KTD.
4.
LANGKAH-LANGKAH PELAKSANAAN PATIENT SAFETY
Pelaksanaan
“Patient safety” meliputi
1.
Sembilan solusi keselamatan Pasien di RS (WHO Collaborating Centre for
Patient Safety, 2 May 2007), yaitu:
1)
Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike medication
names)
2)
Pastikan identifikasi pasien
3)
Komunikasi secara benar saat serah terima pasien
4)
Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar
5)
Kendalikan cairan elektrolit pekat
6)
Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan
7)
Hindari salah kateter dan salah sambung slang
8)
Gunakan alat injeksi sekali pakai
9)
Tingkatkan kebersihan tangan untuk pencegahan infeksi nosokomial.
2.
Tujuh Standar Keselamatan Pasien (mengacu pada “Hospital Patient Safety
Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of
Health Organizations, Illinois, USA, tahun 2002) ,yaitu:
1.
Hak pasien
Standarnya
adalah
Pasien
& keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana
& hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak
Diharapkan).
Kriterianya
adalah
1)
Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan
2)
Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan
3)
Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan yang jelas dan
benar kepada pasien dan keluarga tentang rencana dan hasil pelayanan,
pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya KTD
2.
Mendidik pasien dan keluarga
Standarnya
adalah
RS
harus mendidik pasien & keluarganya tentang kewajiban & tanggung jawab
pasien dalam asuhan pasien.
Kriterianya
adalah:
Keselamatan
dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dgn keterlibatan pasien adalah
partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di RS harus ada system dan
mekanisme mendidik pasien & keluarganya tentang kewajiban & tanggung
jawab pasien dalam asuhan pasien.Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien &
keluarga dapat:
1)
Memberikan info yg benar, jelas, lengkap dan jujur
2)
Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab
3)
Mengajukan pertanyaan untuk hal yg tdk dimengerti
4)
Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan
5)
Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan RS
6)
Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa
7)
Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati
3.
Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
Standarnya
adalah
RS
menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar
unit pelayanan.
Kriterianya
adalah:
1)
koordinasi pelayanan secara menyeluruh
2)
koordinasi pelayanan disesuaikan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya
3)
koordinasi pelayanan mencakup peningkatan komunikasi
4)
komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan
4.
Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien
Standarnya
adalah
RS
harus mendesign proses baru atau memperbaiki proses yg ada, memonitor &
mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif
KTD, & melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta KP.
Kriterianya
adalah
1)
Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (design) yang baik,
sesuai dengan ”Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.
2)
Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja
3)
Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif
4)
Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis
5.
Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
Standarnya
adalah
1)
Pimpinan dorong & jamin implementasi progr KP melalui penerapan “7 Langkah
Menuju KP RS ”.
2)
Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif identifikasi risiko KP &
program mengurangi KTD.
3)
Pimpinan dorong & tumbuhkan komunikasi & koordinasi antar unit &
individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang KP
4)
Pimpinan mengalokasikan sumber daya yg adekuat utk mengukur, mengkaji, &
meningkatkan kinerja RS serta tingkatkan KP.
5)
Pimpinan mengukur & mengkaji efektifitas kontribusinyadalam meningkatkan
kinerja RS & KP.
Kriterianya
adalah
1)
Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.
2)
Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program
meminimalkan insiden,
3)
Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari rumah sakit
terintegrasi dan berpartisipasi
4)
Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada
pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian
informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.
5)
Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan insiden,
6)
Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden
7)
Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan antar
pengelola pelayanan
8)
Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan
9)
Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria
objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja rumah sakit dan
keselamatan pasien
6.
Mendidik staf tentang keselamatan pasien
Standarnya
adalah
1)
RS memiliki proses pendidikan, pelatihan & orientasi untuk setiap jabatan
mencakup keterkaitan jabatan dengan KP secara jelas.
2)
RS menyelenggarakan pendidikan & pelatihan yang berkelanjutan untuk
meningkatkan & memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan
interdisiplin dalam pelayanan pasien.
Kriterianya
adalah
1)
memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik
keselamatan pasien
2)
mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan inservice
training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden.
3)
menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna mendukung
pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani pasien.
7.
Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.
Standarnya
adalah
1)
RS merencanakan & mendesain proses manajemen informasi KP untuk memenuhi
kebutuhan informasi internal & eksternal.
2)
Transmisi data & informasi harus tepat waktu & akurat.
Kriterianya
adalah
1)
disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk
memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan keselamatan
pasien.
2)
Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi
manajemen informasi yang ada
3.
Tujuh langkah menuju keselamatan pasien RS (berdasarkan KKP-RS
No.001-VIII-2005) sebagai panduan bagi staf Rumah Sakit
1.
Bangun kesadaran akan nilai keselamatan Pasien, “ciptakan kepemimpinan & budaya
yang terbuka dan adil”
Bagi
Rumah sakit:
- Kebijakan: tindakan staf segera setelah insiden, langkah kumpul fakta, dukungan kepada staf, pasien, keluarga
- Kebijakan: peran & akuntabilitas individual pada insiden
- Tumbuhkan budaya pelaporan & belajar dari insiden
- Lakukan asesmen dg menggunakan survei penilaian KP
Bagi
Tim:
- Anggota mampu berbicara, peduli & berani lapor bila ada insiden
- Laporan terbuka & terjadi proses pembelajaran serta pelaksanaan tindakan/solusi yg tepat
2.
Pimpin dan dukung staf anda, “bangunlah komitmen &focus yang kuat &
jelas tentang KP di RS anda”
Bagi
Rumah Sakit:
- Ada anggota Direksi yg bertanggung jawab atas KP
- Di bagian-2 ada orang yg dpt menjadi “Penggerak” (champion) KP
- Prioritaskan KP dlm agenda rapat Direksi/Manajemen
- Masukkan KP dlm semua program latihan staf
Bagi
Tim:
- Ada “penggerak” dlm tim utk memimpin Gerakan KP
- Jelaskan relevansi & pentingnya, serta manfaat gerakan KP
- Tumbuhkan sikap ksatria yg menghargai pelaporan insiden
3.
Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko, “kembangkan sistem & proses
pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi & asesmen hal yg potensial
brmasalah”
Bagi
Rumah Sakit:
- Struktur & proses mjmn risiko klinis & non klinis, mencakup KP
- Kembangkan indikator kinerja bagi sistem pengelolaan risiko
- Gunakan informasi dr sistem pelaporan insiden & asesmen risiko & tingkatkan kepedulian thdp pasien
Bagi
Tim:
- Diskusi isu KP dlm forum2, utk umpan balik kpd mjmn terkait
- Penilaian risiko pd individu pasien
- Proses asesmen risiko teratur, tentukan akseptabilitas tiap risiko, & langkah memperkecil risiko tsb
4.
Kembangkan sistem pelaporan, “pastikan staf Anda agar dg mudah dpt melaporkan
kejadian/insiden serta RS mengatur pelaporan kpd KKP-RS”
Bagi
Rumah sakit:
- Lengkapi rencana implementasi sistem pelaporan insiden, ke dlm maupun ke luar yg hrs dilaporkan ke KKPRS – PERSI
Bagi
Tim:
- Dorong anggota utk melaporkan setiap insiden & insiden yg telah dicegah tetapi tetap terjadi juga, sbg bahan pelajaran yg penting
5.
Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien, “kembangkan cara-cara komunikasi yg
terbuka dg pasien”
Bagi
Rumah Sakit
- Kebijakan : komunikasi terbuka ttg insiden dg pasien & keluarga
- Pasien & keluarga mendpt informasi bila terjadi insiden
- Dukungan,pelatihan & dorongan semangat kpd staf agar selalu terbuka kpd pasien & kel. (dlm seluruh proses asuhan pasien
Bagi
Tim:
- Hargai & dukung keterlibatan pasien & kel. bila tlh terjadi insiden
- Prioritaskan pemberitahuan kpd pasien & kel. bila terjadi insiden
- Segera stlh kejadian, tunjukkan empati kpd pasien & kel.
6.
Belajar dan berbagi pengalaman tentang Keselamatan pasien, “dorong staf anda
utk melakukan analisis akar masalah utk belajar bagaimana & mengapa
kejadian itu timbul”
Bagi
Rumah Sakit:
- Staf terlatih mengkaji insiden scr tepat, mengidentifikasi sebab
- Kebijakan: kriteria pelaksanaan Analisis Akar Masalah (Root Cause Analysis/RCA) atau Failure Modes & Effects Analysis (FMEA) atau metoda analisis lain, mencakup semua insiden & minimum 1 x per tahun utk proses risiko tinggi
Bagi
Tim:
- Diskusikan dlm tim pengalaman dari hasil analisis insiden
- Identifikasi bgn lain yg mungkin terkena dampak & bagi pengalaman tersebut
7.
Cegah cedera melalui implementasi system Keselamatan pasien, “Gunakan informasi
yg ada ttg kejadian/masalah utk melakukan perubahan pd sistem pelayanan”
Bagi
Rumah Sakit:
- Tentukan solusi dg informasi dr sistem pelaporan, asesmen risiko, kajian insiden, audit serta analisis
- Solusi mencakup penjabaran ulang sistem, penyesuaian pelatihan staf & kegiatan klinis, penggunaan instrumen yg menjamin KP
- Asesmen risiko utk setiap perubahan
- Sosialisasikan solusi yg dikembangkan oleh KKPRS-PERSI
- Umpan balik kpd staf ttg setiap tindakan yg diambil atas insiden
Bagi
Tim:
- Kembangkan asuhan pasien menjadi lebih baik & lebih aman
- Telaah perubahan yg dibuat tim & pastikan pelaksanaannya
- Umpan balik atas setiap tindak lanjut ttg insiden yg dilaporkan
LANGKAH
LANGKAH KEGIATAN PELAKSANAAN PATIENT SAFETY ADALAH
a.
Di Rumah Sakit
1.
Rumah sakit agar membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit, dengan susunan
organisasi sebagai berikut: Ketua: dokter, Anggota: dokter, dokter gigi,
perawat, tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan lainnya.
2.
Rumah sakit agar mengembangkan sistem informasi pencatatan dan pelaporan
internal tentang insiden
3.
Rumah sakit agar melakukan pelaporan insiden ke Komite Keselamatan Pasien Rumah
Sakit (KKPRS) secara rahasia
4.
Rumah Sakit agar memenuhi standar keselamatan pasien rumah sakit dan menerapkan
tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit.
5.
Rumah sakit pendidikan mengembangkan standar pelayanan medis berdasarkan hasil
dari analisis akar masalah dan sebagai tempat pelatihan standar-standar yang
baru dikembangkan.
b.
Di Provinsi/Kabupaten/Kota
1.
Melakukan advokasi program keselamatan pasien ke rumah sakit-rumah sakit di
wilayahnya
2.
Melakukan advokasi ke pemerintah daerah agar tersedianya dukungan anggaran
terkait dengan program keselamatan pasien rumah sakit.
3.
Melakukan pembinaan pelaksanaan program keselamatan pasien rumah sakit
c.
Di Pusat
1.
Membentuk komite keselamatan pasien Rumah Sakit dibawah Perhimpunan Rumah Sakit
Seluruh Indonesia
2.
Menyusun panduan nasional tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit
3.
Melakukan sosialisasi dan advokasi program keselamatan pasien ke Dinas
Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota, PERSI Daerah dan rumah sakit pendidikan
dengan jejaring pendidikan.
4.
Mengembangkan laboratorium uji coba program keselamatanpasien.
Selain
itu, menurut Hasting G, 2006, ada delapan langkah yang bisa dilakukan untuk
mengembangkan budaya Patient safety ini
1.
Put the focus back on safety
Setiap
staf yang bekerja di RS pasti ingin memberikan yang terbaik dan teraman untuk
pasien. Tetapi supaya keselamatan pasien ini bisa dikembangkan dan semua staf
merasa mendapatkan dukungan, patient safety ini harus menjadi prioritas
strategis dari rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan lainnya. Empat CEO RS
yang terlibat dalam safer patient initiatives di Inggris mengatakan
bahwa tanggung jawab untuk keselamatan pasien tidak bisa didelegasikan dan
mereka memegang peran kunci dalam membangun dan mempertahankan fokus patient
safety di dalam RS.
2.
Think small and make the right thing easy to do
Memberikan
pelayanan kesehatan yang aman bagi pasien mungkin membutuhkan langkah-langkah
yang agak kompleks. Tetapi dengan memecah kompleksitas ini dan membuat
langkah-langkah yang lebih mudah mungkin akan memberikan peningkatan yang lebih
nyata.
3.
Encourage open reporting
Belajar
dari pengalaman, meskipun itu sesuatu yang salah adalah pengalaman yang
berharga. Koordinator patient safety dan manajer RS harus membuat budaya
yang mendorong pelaporan. Mencatat tindakan-tindakan yang membahayakan pasien
sama pentingnya dengan mencatat tindakan-tindakan yang menyelamatkan pasien.
Diskusi terbuka mengenai insiden-insiden yang terjadi bisa menjadi pembelajaran
bagi semua staf.
4.
Make data capture a priority
Dibutuhkan
sistem pencatatan data yang lebih baik untuk mempelajari dan mengikuti
perkembangan kualitas dari waktu ke waktu. Misalnya saja data mortalitas.
Dengan perubahan data mortalitas dari tahun ke tahun, klinisi dan manajer bisa
melihat bagaimana manfaat dari penerapan patient safety.
5.
Use systems-wide approaches
Keselamatan
pasien tidak bisa menjadi tanggung jawab individual. Pengembangan hanya bisa
terjadi jika ada sistem pendukung yang adekuat. Staf juga harus dilatih dan
didorong untuk melakukan peningkatan kualitas pelayanan dan keselamatan
terhadap pasien. Tetapi jika pendekatan patient safety tidak diintegrasikan
secara utuh kedalam sistem yang berlaku di RS, maka peningkatan yang terjadi
hanya akan bersifat sementara.
6.
Build implementation knowledge
Staf
juga membutuhkan motivasi dan dukungan untuk mengembangkan metodologi, sistem
berfikir, dan implementasi program. Pemimpin sebagai pengarah jalannya program
disini memegang peranan kunci. Di Inggris, pengembangan mutu pelayanan
kesehatan dan keselamatan pasien sudah dimasukkan ke dalam kurikulum kedokteran
dan keperawatan, sehingga diharapkan sesudah lulus kedua hal ini sudah menjadi
bagian dalam budaya kerja.
7.
Involve patients in safety efforts
Keterlibatan
pasien dalam pengembangan patient safety terbukti dapat memberikan
pengaruh yang positif. Perannya saat ini mungkin masih kecil, tetapi akan terus
berkembang. Dimasukkannya perwakilan masyarakat umum dalam komite keselamatan
pasien adalah salah satu bentuk kontribusi aktif dari masyarakat (pasien).
Secara sederhana pasien bisa diarahkan untuk menjawab ketiga pertanyaan
berikut: apa masalahnya? Apa yang bisa kubantu? Apa yang tidak boleh
kukerjakan?
8.
Develop top-class patient safety leaders
Prioritisasi
keselamatan pasien, pembangunan sistem untuk pengumpulan data-data berkualitas
tinggi, mendorong budaya tidak saling menyalahkan, memotivasi staf, dan
melibatkan pasien dalam lingkungan kerja bukanlah sesuatu hal yang bisa
tercapai dalam semalam. Diperlukan kepemimpinan yang kuat, tim yang kompak,
serta dedikasi dan komitmen yang tinggi untuk tercapainya tujuan pengembangan
budaya patient safety. Seringkali RS harus bekerja dengan konsultan leadership
untuk mengembangkan kerjasama tim dan keterampilan komunikasi staf. Dengan
kepemimpinan yang baik, masing-masing anggota tim dengan berbagai peran yang
berbeda bisa saling melengkapi dengan anggota tim lainnya melalui kolaborasi
yang erat.
5.
ASPEK HUKUM TERHADAP PATIENT SAFETY
Aspek
hukum terhadap “patient safety” atau keselamatan pasien adalah sebagai berikut
UU
Tentang Kesehatan & UU Tentang Rumah Sakit
1.
Keselamatan Pasien sebagai Isu Hukum
a.
Pasal 53 (3) UU No.36/2009
“Pelaksanaan
Pelayanan kesehatan harus mendahulukan keselamatan nyawa pasien.”
b.
Pasal 32n UU No.44/2009
“Pasien
berhak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam
perawatan di Rumah Sakit.
c.
Pasal 58 UU No.36/2009
1)
“Setiap orang berhak menuntut G.R terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan
atau kelalaian dalam Pelkes yang diterimanya.”
2)
“…..tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan
nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.”
2.
Tanggung jawab Hukum Rumah sakit
a.
Pasal 29b UU No.44/2009
”Memberi
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan
mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit.”
b.
Pasal 46 UU No.44/2009
“Rumah
sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan
atas kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di RS.”
c.
Pasal 45 (2) UU No.44/2009
“Rumah
sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan
nyawa manusia.”
3.
Bukan tanggung jawab Rumah Sakit
Pasal
45 (1) UU No.44/2009 Tentang Rumah sakit
“Rumah
Sakit Tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau keluarganya
menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien
setelah adanya penjelasan medis yang kompresehensif. “
4.
Hak Pasien
a.
Pasal 32d UU No.44/2009
“Setiap
pasien mempunyai hak memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional”
b.
Pasal 32e UU No.44/2009
“Setiap
pasien mempunyai hak memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga
pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi”
c.
Pasal 32j UU No.44/2009
“Setiap
pasien mempunyai hak tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
serta perkiraan biaya pengobatan”
d.
Pasal 32q UU No.44/2009
“Setiap
pasien mempunyai hak menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah
Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara
perdata ataupun pidana”
5.
Kebijakan yang mendukung keselamatan pasien
Pasal
43 UU No.44/2009
1)
RS wajib menerapkan standar keselamatan pasien
2)
Standar keselamatan pasien dilaksanakan melalui pelaporan insiden, menganalisa,
dan menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan angka kejadian yang
tidak diharapkan.
3)
RS melaporkan kegiatan keselamatan pasien kepada komite yang membidangi
keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri
4)
Pelaporan insiden keselamatan pasien dibuat secara anonym dan ditujukan untuk
mengoreksi system dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien.
Pemerintah
bertanggung jawab mengeluarkan kebijakan tentang keselamatan pasien.
Keselamatan pasien yang dimaksud adalah suatu system dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman. System tersebut meliputi:
a.
Assessment risiko
b.
Identifikasi dan pengelolaan yang terkait resiko pasien
c.
Pelaporan dan analisis insiden
d.
Kemampuan belajar dari insiden
e.
Tindak lanjut dan implementasi solusi meminimalkan resiko
6.
MANAJEMEN PATIENT SAFETY
Pelaksanaan
Patient Safety ini dilakukan dengan system Pencacatan dan Pelaporan
serta Monitoring san Evaluasi
7.
SISTEM PENCACATAN DAN PELAPORAN PADA PATIENT SAFETY
a.
Di Rumah Sakit
1.
Setiap unit kerja di rumah sakit mencatat semua kejadian terkait dengan
keselamatan pasien (Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Diharapkan dan
Kejadian Sentinel) pada formulir yang sudah disediakan oleh rumah sakit.
2.
Setiap unit kerja di rumah sakit melaporkan semua kejadian terkait dengan keselamatan
pasien (Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Diharapkan dan Kejadian
Sentinel) kepada Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit pada formulir yang sudah
disediakan oleh rumah sakit.
3.
Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit menganalisis akar penyebab masalah semua
kejadian yang dilaporkan oleh unit kerja
4.
Berdasarkan hasil analisis akar masalah maka Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit
merekomendasikan solusi pemecahan dan mengirimkan hasil solusi pemecahan
masalah kepada Pimpinan rumah sakit.
5.
Pimpinan rumah sakit melaporkan insiden dan hasil solusi masalah ke Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) setiap terjadinya insiden dan setelah
melakukan analisis akar masalah yang bersifat rahasia.
b.
Di Propinsi
Dinas
Kesehatan Propinsi dan PERSI Daerah menerima produk-produk dari Komite
Keselamatan Rumah Sakit
c.
Di Pusat
1.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) merekapitulasi laporan dari rumah
sakit untuk menjaga kerahasiaannya
2.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) melakukan analisis yang telah
dilakukan oleh rumah sakit
3.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) melakukan analisis laporan
insiden bekerjasama dengan rumah sakit pendidikan dan rumah sakit yang
ditunjuk sebagai laboratorium uji coba keselamatan pasien rumah sakit
4.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) melakukan sosialisasi hasil
analisis dan solusi masalah ke Dinas Kesehatan Propinsi dan PERSI Daerah, rumah
sakit terkait dan rumah sakit lainnya.
8.
MONITORING DAN EVALUASI
a.
Di Rumah sakit
Pimpinan
Rumah sakit melakukan monitoring dan evaluasi pada unit-unit kerja di rumah
sakit, terkait dengan pelaksanaan keselamatan pasien di unit kerja
b.
Di propinsi
Dinas
Kesehatan Propinsi dan PERSI Daerah melakukan monitoring dan evaluasi
pelaksanaan Program Keselamatan Pasien Rumah Sakit di wilayah kerjanya
c.
Di Pusat
1.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit melakukan monitoring dan evaluasi
pelaksanaan Keselamatan Pasien Rumah Sakit di rumah sakit-rumah sakit
2.
Monitoring dan evaluasi dilaksanakan minimal satu tahan satu kali.
REFERENSI
1.
Komalawati, Veronica. (2010) Community&Patient Safety Dalam
Perspektif Hukum Kesehatan.
2.
Lestari, Trisasi. Knteks Mikro dalam Implementasi Patient Safety:
Delapan Langkah Untuk Mengembangkan Budaya Patient Safety. Buletin IHQN
Vol II/Nomor.04/2006 Hal.1-3
3.
Pabuti, Aumas. (2011) Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien (KP) Rumah Sakit.
Proceedings of expert lecture of medical student of Block 21st
of Andalas University, Indonesia
4.
Panduang Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety). 2005
5.
Tim keselamatan Pasien RS RSUD Panembahan Senopati. Patient Safety.
6.
Yahya, Adib A. (2006) Konsep dan Program “Patient Safety”. Proceedings
of National Convention VI of The Hospital Quality Hotel Permata Bidakara,
Bandung 14-15 November 2006.
7.
Yahya, Adib A. (2007) Fraud & Patient Safety. Proceedings of
PAMJAKI meeting “Kecurangan (Fraud) dalam Jaminan/Asuransi Kesehatan”
Hotel Bumi Karsa, Jakarta 13 December 2007.
Langganan:
Postingan (Atom)