Sabtu, 10 Desember 2011

Filsafat hukum : Pengertian filsafat Hukum menurut para ahli


Filsafat hukum : Pengertian filsafat Hukum menurut para ahli


Untuk membahas mengenai pengertian daripada filsafat hukum, ada baiknya kita tahu lebih dahulu sekelumit tentang apa yang dimaksud dengan fisafat itu sendiri dan apa pula pengertian daripada hukum.
            Filsafat adalah merupakan suatu perenungan atau pemikiran secara mendalam terhadap sesuatu hal yang telah kita lihat dengan indera penglihatan, kita rasakan dengan indera perasa, kita cium dengan indera penciuman ataupun kita dengar dengan indera pendengaran samapai pada dasar atau hakikat daripada sesuatu hal tersebut. Louis O Kattsoff mengatakan di dalam bukunya, bahwa filsafat bertujuan untuk mengumpulkan penegtahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini, menemukan hakikatnya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya itu di dalam bentuk yang sistematis. Katanya lebih lanjut, filsafat membawa kita pada pemahaman dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak (1992 : 03). Filsafat dapat kita jadikan sebagai pisau analisis dalam menganalisa suatu masalah dan menyususn secara sistematis suatu sudut pandang ataupun beberapa sudut pandang, yang kemudian dapat menjadi dasar untuk melakukan suatu tindakan.
 Sedangkan hukum sendiri, menurut seorang ahli hokum Indonesia Wirjono Prodjodikoro (1992 : 9), adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang – orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan satu – satunya tujuan dari hokum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat itu. Kemudian, Notohamidjojo (1975 : 21) berpendapat, bahwa hokum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat Negara serta antarnegara, yang berorientasi pada dua asas yaitu keadilan dan dayaguna, demi tata tertib dan damai dalam masyarakat. Secara umum hukum dapat dipandang sebagai norma, yaitu norma yang mengandung nilai – nilai tertentu (Darji Darmodiharjo, shidarta, 2004 : 13).
 Selanjutnya filsafat hukum dapat disebut juga sebagai filsafat tingkah laku atau nilai – nilai etika, yang mempelajari hakikat hukum. Filsafat hokum ialah merupakan ilmu yang mengkaji tentang hukum secara mendalam sampa kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan hakikat (Darji Darmodiharjo, shidarta, 2004 : 11). Seorang filsuf hukum pasti akan mencari apa inti atau hakikat daripada hukum, ingin mengetahui apa yang ada di belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, menyelidiki kaidah – kaidah hokum sebagai pertimbangan nilai, memberi penjelasan tentang nilai – nilai, postulat – postulat (dasar –dasar) hokum sampai pada dasar – dasarnya filsafat yang terakhir, dan berusaha mencapai akar dari hokum (Mr.soetiksno, 1986 : 02). Jadi, filsafat hokum adalah suatu perenungan atau pemikiran secara ketat, secara mendalam tentang pertimbangan nilai - nilai di balik gejala – gejala hokum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindera manusia mengenai perbuatan – perbuatan manusia dan kebiasaan – kebiasaan masyarakat.

ľ Menurut Soetikno

Filsafat hukum adalah mencari hakikat dari hukum, dia inginmengetahui apa yang ada dibelakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, dia menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai, dia memberi penjelasan mengenai nilai, postulat (dasar-dasar) sampai pada dasar-dasarnya, ia berusaha untuk mencapai akar-akar dari hukum.

ľ Menurut Satjipto Raharjo

Filsafat hukum mempelajari pertanyaan-pertanyaan dasar dari hukum. Pertanyaan tentang hakikat hukum, tentang dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asa, peraturan, bidang serta system hukumnya sendiri.

ľ Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto

Filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai, kecuali itu filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyelesaian antara ketertiban dengan ketenteraman, antara kebendaan dan keakhlakan, dan antara kelanggengan atau konservatisme dengan pembaruan.

ľ Menurut Lili Rasjidi

Filsafat hukum berusaha membuat “dunia etis yang menjadi latar belakang yang tidak dapat diraba oleh panca indera” sehingga filsafat hukum menjadi ilmu normative, seperti halnya dengan ilmu politik hukum. Filsafat hukum berusaha mencari suatu cita hukum yang dapat menjadi “dasar hukum” dan “etis” bagi berlakunya system hukum positif suatu masyarakat (seperti grundnorm yang telah digambarkan oleh sarjana hukum bangsa Jerman yang menganut aliran-aliran seperti Neo kantianisme).

Filsafat Positivisme dan Ciri-cirinya

Positivisme merupakan suatu paham dalam filsafat sains yang berkembang sangat pervasif dan, menurut Ian Hacking, tidak hanya menjadi filsafat sains melainkan agama humanis modern. Positivisme menjadi agama dogmatis karena ia telah melembagakan pandangan dunianya menjadi doktrin bagi ilmu pengetahuan. Pandangan dunia yang dianut oleh positivisme adalah pandangan dunia objektivistik. Pandangan dunia objektivistik adalah pandangan dunia yang menyatakan bahwa objek-objek fisik hadir independen dari mental dan menghadirkan properti-properti mereka secara langsung melalui data indrawi. Realitas dengan data indrawi adalah satu. Apa yang dilihat adalah realitas sebagaimana adanya. Seeing is believing.
Positivisme melembagakan pandangan dunia objetivistiknya dalam suatu doktrin kesatuan ilmu (unified science). Doktrin kesatuan ilmu mengatakan bahwa seluruh ilmu, baik ilmu alam maupun manusia, harus berada di bawah payung paradigma positivistik. Doktrin kesatuan ilmu mengajukan kriteria-kriteria bagi ilmu pengetahuan sebagai berikut:
bebas nilai, pengamat harus bebas dari kepentingan, nilai, emosi dalam mengamati objeknya agar diperoleh pengetahuan yang objektif
ilmu pengetahuan harus menggunakan metode verifikasi-empiris
bahasa yang digunakan harus; analitik (bisa dibenarkan atau disahkan secara logis), bisa diperiksa secara empiris dan atau nonsens
bersifat eksplanasi, ilmu pengetahuan hanya diperbolehkan melakukan penjelasan akan keteraturan yang ada di alam semesta, ia hanya menjawab pertanyaan how dan tidak menjawab pertanyaan why. Positivisme menjadi dogma epistemik dengan mengklaim bahwa ilmu pengetahuan harus mengikuti doktrin unified science apabila ingin disebut ilmu pengetahuan ilmiah, bukan semata-mata pengetahuan sehari-hari praktis eksistensial.
Ciri-ciri Positivisme antara lain:
objektif/bebas nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dari realitas dengan bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang teramati dan terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari realitas (korespondensi)
Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-gejala penampakan ditolak (antimetafisika)
Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas partikularlah yang nyata.
Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati
Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memiliki strukturnya sendiri dan mengasalkan strukturnya sendiri
Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-sistem mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai giant clock work.
Positivisme sebagaimana dikembangkan oleh August Comte, biasa digolongkan dalam kategori positivisme sosial. Aliran positivisme jenis ini dikembangkan di Inggris oleh para filsuf, seperti Jeremy Bentham, James Mill, dan John Stuart Mill. Sedangkan di Italia, positivisme sosial dikembangkan oleh Carlo Cattaneo dan Giuseppe Ferrari. Mereka berdua menganggap diri sebagai orang yang melanjutkan karya Gambista Vico, tokoh yang menurut mereka telah menempatkan sains tentang manusia pada pusat kemanusiaan sendiri. Para penganut positivisme sosial di Jerman, seperti Ernest Lassa, Friederich Jodl dan Eugen Duhring, lebih mengacu pada pemikiran Ludwig Feuerbach daripada pemikiran Saint Simon dan August Comte. Walaupun terdapat perbedaan pendapat di antara para penganut positivisme sosial, namun semuanya menaruh kepercayaan besar pada sains, pada kemajuan aras dasar sains, dan pada bentuk pengaturan sosial yang lebih baik sebagai akibat dari kemajuan tersebut.
Selain positivisme sosial juga muncul apa yang disebut positivisme evolusioner yang dipelopori oleh orang-orang seperti Charles Lyell, Charles Darwin, Herbert Spencer, Ernst Haeckel dan Wilhelm Wundt. Seperti penganut positivisme sosial, para penganut positivisme evolusioner juga percaya akan adanya kemajuan. Perbedaan antara mereka terletak pada alasan yang mendasari kemajuan tersebut. Kalau positivisme sosial mendasarkan kemajuan pada gejala perkembangan masyarakat dan sejarah, maka positivisme evolusioner mendasarkan pada alam sebagaimana dapat dikenali oleh fisika dan biologi. Positivisme evolusioner telah meninggalkan suatu warisan bagi dunia pemikiran dewasa ini, berupa gagasan tentang adanya evolusi bersifat universal, satu garis ke depan, berkeseinambungan, niscaya dan pasti bersifat progresif.
Di samping positivisme sosial dan positivisme evolusioner, juga berkembang apa yang disebut positivisme kritis. Aliran pemikiran ini, yang kadang juga disebut Kantianisme empiris, dipelopori oleh pemikir-pemikir seperti Ernst Mach dan Richard Avenarius. Aliran pemikiran positivisme kritis ini secara historis merupakan pendahulu dari aliran pemikiran kelompok atau lingkungan Wina dan apa yang secara umum disebut empirisme logis, empirisme imliah, neopositivisme atau positivisme logis.
(Donny Gahral Adian dari Percik Pemikiran Kontemporer; Sebuah Pengantar Komprehensif hal 27-30)Diatas adalah Gambar Dari Ludwig Feuerbach
 Posted in: filsafat
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
0 komentar:
Poskan Komentar
Filsafat Positivisme dan Ciri-cirinya
Positivisme merupakan suatu paham dalam filsafat sains yang berkembang sangat pervasif dan, menurut Ian Hacking, tidak hanya menjadi filsafat sains melainkan agama humanis modern. Positivisme menjadi agama dogmatis karena ia telah melembagakan pandangan dunianya menjadi doktrin bagi ilmu pengetahuan. Pandangan dunia yang dianut oleh positivisme adalah pandangan dunia objektivistik. Pandangan dunia objektivistik adalah pandangan dunia yang menyatakan bahwa objek-objek fisik hadir independen dari mental dan menghadirkan properti-properti mereka secara langsung melalui data indrawi. Realitas dengan data indrawi adalah satu. Apa yang dilihat adalah realitas sebagaimana adanya. Seeing is believing.
Positivisme melembagakan pandangan dunia objetivistiknya dalam suatu doktrin kesatuan ilmu (unified science). Doktrin kesatuan ilmu mengatakan bahwa seluruh ilmu, baik ilmu alam maupun manusia, harus berada di bawah payung paradigma positivistik. Doktrin kesatuan ilmu mengajukan kriteria-kriteria bagi ilmu pengetahuan sebagai berikut:
bebas nilai, pengamat harus bebas dari kepentingan, nilai, emosi dalam mengamati objeknya agar diperoleh pengetahuan yang objektif
ilmu pengetahuan harus menggunakan metode verifikasi-empiris
bahasa yang digunakan harus; analitik (bisa dibenarkan atau disahkan secara logis), bisa diperiksa secara empiris dan atau nonsens
bersifat eksplanasi, ilmu pengetahuan hanya diperbolehkan melakukan penjelasan akan keteraturan yang ada di alam semesta, ia hanya menjawab pertanyaan how dan tidak menjawab pertanyaan why. Positivisme menjadi dogma epistemik dengan mengklaim bahwa ilmu pengetahuan harus mengikuti doktrin unified science apabila ingin disebut ilmu pengetahuan ilmiah, bukan semata-mata pengetahuan sehari-hari praktis eksistensial.
Ciri-ciri Positivisme antara lain:
objektif/bebas nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dari realitas dengan bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang teramati dan terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari realitas (korespondensi)
Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-gejala penampakan ditolak (antimetafisika)
Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas partikularlah yang nyata.
Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati
Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memiliki strukturnya sendiri dan mengasalkan strukturnya sendiri
Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-sistem mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai giant clock work.
Positivisme sebagaimana dikembangkan oleh August Comte, biasa digolongkan dalam kategori positivisme sosial. Aliran positivisme jenis ini dikembangkan di Inggris oleh para filsuf, seperti Jeremy Bentham, James Mill, dan John Stuart Mill. Sedangkan di Italia, positivisme sosial dikembangkan oleh Carlo Cattaneo dan Giuseppe Ferrari. Mereka berdua menganggap diri sebagai orang yang melanjutkan karya Gambista Vico, tokoh yang menurut mereka telah menempatkan sains tentang manusia pada pusat kemanusiaan sendiri. Para penganut positivisme sosial di Jerman, seperti Ernest Lassa, Friederich Jodl dan Eugen Duhring, lebih mengacu pada pemikiran Ludwig Feuerbach daripada pemikiran Saint Simon dan August Comte. Walaupun terdapat perbedaan pendapat di antara para penganut positivisme sosial, namun semuanya menaruh kepercayaan besar pada sains, pada kemajuan aras dasar sains, dan pada bentuk pengaturan sosial yang lebih baik sebagai akibat dari kemajuan tersebut.
Selain positivisme sosial juga muncul apa yang disebut positivisme evolusioner yang dipelopori oleh orang-orang seperti Charles Lyell, Charles Darwin, Herbert Spencer, Ernst Haeckel dan Wilhelm Wundt. Seperti penganut positivisme sosial, para penganut positivisme evolusioner juga percaya akan adanya kemajuan. Perbedaan antara mereka terletak pada alasan yang mendasari kemajuan tersebut. Kalau positivisme sosial mendasarkan kemajuan pada gejala perkembangan masyarakat dan sejarah, maka positivisme evolusioner mendasarkan pada alam sebagaimana dapat dikenali oleh fisika dan biologi. Positivisme evolusioner telah meninggalkan suatu warisan bagi dunia pemikiran dewasa ini, berupa gagasan tentang adanya evolusi bersifat universal, satu garis ke depan, berkeseinambungan, niscaya dan pasti bersifat progresif.
Di samping positivisme sosial dan positivisme evolusioner, juga berkembang apa yang disebut positivisme kritis. Aliran pemikiran ini, yang kadang juga disebut Kantianisme empiris, dipelopori oleh pemikir-pemikir seperti Ernst Mach dan Richard Avenarius. Aliran pemikiran positivisme kritis ini secara historis merupakan pendahulu dari aliran pemikiran kelompok atau lingkungan Wina dan apa yang secara umum disebut empirisme logis, empirisme imliah, neopositivisme atau positivisme logis.

2 komentar:

  1. ilmu pengetahuan harus menggunakan metode verifikasi-empiris
    bahasa yang digunakan harus; analitik (bisa dibenarkan atau disahkan secara logis), bisa diperiksa secara empiris dan atau nonsens
    bersifat eksplanasi, ilmu pengetahuan hanya diperbolehkan melakukan penjelasan akan keteraturan yang ada di alam semesta, ia hanya menjawab pertanyaan how dan tidak menjawab pertanyaan why. Positivisme menjadi dogma epistemik dengan mengklaim bahwa ilmu pengetahuan harus mengikuti doktrin unified science apabila ingin disebut ilmu pengetahuan ilmiah, bukan semata-mata pengetahuan sehari-hari praktis eksistensial.

    BalasHapus
  2. Visit My Blog : BlogStoc.com

    BalasHapus