Filsafat
hukum : Pengertian filsafat Hukum menurut para ahli
Untuk membahas mengenai pengertian daripada
filsafat hukum, ada baiknya kita tahu lebih dahulu sekelumit tentang apa yang
dimaksud dengan fisafat itu sendiri dan apa pula pengertian daripada hukum.
Filsafat adalah merupakan suatu
perenungan atau pemikiran secara mendalam terhadap sesuatu hal yang telah kita
lihat dengan indera penglihatan, kita rasakan dengan indera perasa, kita cium
dengan indera penciuman ataupun kita dengar dengan indera pendengaran samapai
pada dasar atau hakikat daripada sesuatu hal tersebut. Louis O Kattsoff
mengatakan di dalam bukunya, bahwa filsafat bertujuan untuk mengumpulkan
penegtahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan
ini, menemukan hakikatnya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya itu di dalam
bentuk yang sistematis. Katanya lebih lanjut, filsafat membawa kita pada
pemahaman dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak (1992 :
03). Filsafat dapat kita jadikan sebagai pisau analisis dalam menganalisa suatu
masalah dan menyususn secara sistematis suatu sudut pandang ataupun beberapa
sudut pandang, yang kemudian dapat menjadi dasar untuk melakukan suatu
tindakan.
Sedangkan hukum sendiri, menurut seorang ahli
hokum Indonesia Wirjono Prodjodikoro (1992 : 9), adalah rangkaian peraturan
mengenai tingkah laku orang – orang sebagai anggota suatu masyarakat, sedangkan
satu – satunya tujuan dari hokum ialah menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan
tata tertib dalam masyarakat itu. Kemudian, Notohamidjojo (1975 : 21)
berpendapat, bahwa hokum adalah keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak
tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat
Negara serta antarnegara, yang berorientasi pada dua asas yaitu keadilan dan
dayaguna, demi tata tertib dan damai dalam masyarakat. Secara umum hukum dapat
dipandang sebagai norma, yaitu norma yang mengandung nilai – nilai tertentu
(Darji Darmodiharjo, shidarta, 2004 : 13).
Selanjutnya filsafat hukum dapat disebut juga
sebagai filsafat tingkah laku atau nilai – nilai etika, yang mempelajari
hakikat hukum. Filsafat hokum ialah merupakan ilmu yang mengkaji tentang hukum
secara mendalam sampa kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan hakikat
(Darji Darmodiharjo, shidarta, 2004 : 11). Seorang filsuf hukum pasti akan
mencari apa inti atau hakikat daripada hukum, ingin mengetahui apa yang ada di
belakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, menyelidiki kaidah
– kaidah hokum sebagai pertimbangan nilai, memberi penjelasan tentang nilai –
nilai, postulat – postulat (dasar –dasar) hokum sampai pada dasar – dasarnya
filsafat yang terakhir, dan berusaha mencapai akar dari hokum (Mr.soetiksno,
1986 : 02). Jadi, filsafat hokum adalah suatu perenungan atau pemikiran secara
ketat, secara mendalam tentang pertimbangan nilai - nilai di balik gejala –
gejala hokum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindera manusia mengenai
perbuatan – perbuatan manusia dan kebiasaan – kebiasaan masyarakat.
ľ
Menurut Soetikno
Filsafat
hukum adalah mencari hakikat dari hukum, dia inginmengetahui apa yang ada
dibelakang hukum, mencari apa yang tersembunyi di dalam hukum, dia menyelidiki
kaidah-kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai, dia memberi penjelasan mengenai
nilai, postulat (dasar-dasar) sampai pada dasar-dasarnya, ia berusaha untuk
mencapai akar-akar dari hukum.
ľ
Menurut Satjipto Raharjo
Filsafat
hukum mempelajari pertanyaan-pertanyaan dasar dari hukum. Pertanyaan tentang
hakikat hukum, tentang dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum, merupakan
contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian
itu, filsafat hukum bisa menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil
sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan
dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asa,
peraturan, bidang serta system hukumnya sendiri.
ľ
Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto
Filsafat
hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai, kecuali itu filsafat hukum
juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyelesaian antara ketertiban
dengan ketenteraman, antara kebendaan dan keakhlakan, dan antara kelanggengan
atau konservatisme dengan pembaruan.
ľ
Menurut Lili Rasjidi
Filsafat
hukum berusaha membuat “dunia etis yang menjadi latar belakang yang tidak dapat
diraba oleh panca indera” sehingga filsafat hukum menjadi ilmu normative,
seperti halnya dengan ilmu politik hukum. Filsafat hukum berusaha mencari suatu
cita hukum yang dapat menjadi “dasar hukum” dan “etis” bagi berlakunya system
hukum positif suatu masyarakat (seperti grundnorm yang telah digambarkan
oleh sarjana hukum bangsa Jerman yang menganut aliran-aliran seperti Neo
kantianisme).
Filsafat
Positivisme dan Ciri-cirinya
Positivisme merupakan suatu paham dalam
filsafat sains yang berkembang sangat pervasif dan, menurut Ian Hacking, tidak
hanya menjadi filsafat sains melainkan agama humanis modern. Positivisme
menjadi agama dogmatis karena ia telah melembagakan pandangan dunianya menjadi
doktrin bagi ilmu pengetahuan. Pandangan dunia yang dianut oleh positivisme
adalah pandangan dunia objektivistik. Pandangan dunia objektivistik adalah pandangan
dunia yang menyatakan bahwa objek-objek fisik hadir independen dari mental dan
menghadirkan properti-properti mereka secara langsung melalui data indrawi.
Realitas dengan data indrawi adalah satu. Apa yang dilihat adalah realitas
sebagaimana adanya. Seeing is believing.
Positivisme melembagakan pandangan dunia
objetivistiknya dalam suatu doktrin kesatuan ilmu (unified science). Doktrin
kesatuan ilmu mengatakan bahwa seluruh ilmu, baik ilmu alam maupun manusia,
harus berada di bawah payung paradigma positivistik. Doktrin kesatuan ilmu
mengajukan kriteria-kriteria bagi ilmu pengetahuan sebagai berikut:
bebas
nilai, pengamat harus bebas dari kepentingan, nilai, emosi dalam mengamati
objeknya agar diperoleh pengetahuan yang objektif
ilmu
pengetahuan harus menggunakan metode verifikasi-empiris
bahasa yang digunakan harus; analitik (bisa dibenarkan
atau disahkan secara logis), bisa diperiksa secara empiris dan atau nonsens
bersifat eksplanasi, ilmu pengetahuan hanya diperbolehkan
melakukan penjelasan akan keteraturan yang ada di alam semesta, ia hanya
menjawab pertanyaan how dan tidak menjawab pertanyaan why. Positivisme menjadi
dogma epistemik dengan mengklaim bahwa ilmu pengetahuan harus mengikuti doktrin
unified science apabila ingin disebut ilmu pengetahuan ilmiah, bukan
semata-mata pengetahuan sehari-hari praktis eksistensial.
Ciri-ciri Positivisme antara lain:
objektif/bebas nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta
dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dari realitas dengan
bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang teramati dan terukur, maka
pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari realitas (korespondensi)
Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari
impresi-impresi. Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa
impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan berada di
belakang gejala-gejala penampakan ditolak (antimetafisika)
Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili
realitas partikularlah yang nyata.
Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta
yang dapat diamati
Naturalisme, tesis tentang keteraturan
peristiwa-peristiwa di alam semesta yang meniadakan penjelasan supranatural
(adikodrati). Alam semesta memiliki strukturnya sendiri dan mengasalkan
strukturnya sendiri
Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan
dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin
(sistem-sistem mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai giant clock work.
Positivisme sebagaimana dikembangkan oleh August Comte,
biasa digolongkan dalam kategori positivisme sosial. Aliran positivisme jenis
ini dikembangkan di Inggris oleh para filsuf, seperti Jeremy Bentham, James
Mill, dan John Stuart Mill. Sedangkan di Italia, positivisme sosial
dikembangkan oleh Carlo Cattaneo dan Giuseppe Ferrari. Mereka berdua menganggap
diri sebagai orang yang melanjutkan karya Gambista Vico, tokoh yang menurut
mereka telah menempatkan sains tentang manusia pada pusat kemanusiaan sendiri.
Para penganut positivisme sosial di Jerman, seperti Ernest Lassa, Friederich
Jodl dan Eugen Duhring, lebih mengacu pada pemikiran Ludwig Feuerbach daripada
pemikiran Saint Simon dan August Comte. Walaupun terdapat perbedaan pendapat di
antara para penganut positivisme sosial, namun semuanya menaruh kepercayaan
besar pada sains, pada kemajuan aras dasar sains, dan pada bentuk pengaturan
sosial yang lebih baik sebagai akibat dari kemajuan tersebut.
Selain positivisme sosial juga muncul apa yang disebut
positivisme evolusioner yang dipelopori oleh orang-orang seperti Charles Lyell,
Charles Darwin, Herbert Spencer, Ernst Haeckel dan Wilhelm Wundt. Seperti
penganut positivisme sosial, para penganut positivisme evolusioner juga percaya
akan adanya kemajuan. Perbedaan antara mereka terletak pada alasan yang
mendasari kemajuan tersebut. Kalau positivisme sosial mendasarkan kemajuan pada
gejala perkembangan masyarakat dan sejarah, maka positivisme evolusioner
mendasarkan pada alam sebagaimana dapat dikenali oleh fisika dan biologi.
Positivisme evolusioner telah meninggalkan suatu warisan bagi dunia pemikiran
dewasa ini, berupa gagasan tentang adanya evolusi bersifat universal, satu
garis ke depan, berkeseinambungan, niscaya dan pasti bersifat progresif.
Di samping positivisme sosial dan positivisme
evolusioner, juga berkembang apa yang disebut positivisme kritis. Aliran
pemikiran ini, yang kadang juga disebut Kantianisme empiris, dipelopori oleh
pemikir-pemikir seperti Ernst Mach dan Richard Avenarius. Aliran pemikiran
positivisme kritis ini secara historis merupakan pendahulu dari aliran
pemikiran kelompok atau lingkungan Wina dan apa yang secara umum disebut
empirisme logis, empirisme imliah, neopositivisme atau positivisme logis.
(Donny Gahral Adian dari Percik Pemikiran Kontemporer;
Sebuah Pengantar Komprehensif hal 27-30)Diatas adalah Gambar Dari Ludwig
Feuerbach
Posted in:
filsafat
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
0 komentar:
Poskan Komentar
Filsafat Positivisme dan Ciri-cirinya
Positivisme merupakan suatu paham dalam filsafat sains
yang berkembang sangat pervasif dan, menurut Ian Hacking, tidak hanya menjadi
filsafat sains melainkan agama humanis modern. Positivisme menjadi agama
dogmatis karena ia telah melembagakan pandangan dunianya menjadi doktrin bagi
ilmu pengetahuan. Pandangan dunia yang dianut oleh positivisme adalah pandangan
dunia objektivistik. Pandangan dunia objektivistik adalah pandangan dunia yang
menyatakan bahwa objek-objek fisik hadir independen dari mental dan
menghadirkan properti-properti mereka secara langsung melalui data indrawi.
Realitas dengan data indrawi adalah satu. Apa yang dilihat adalah realitas
sebagaimana adanya. Seeing is believing.
Positivisme melembagakan pandangan dunia objetivistiknya
dalam suatu doktrin kesatuan ilmu (unified science). Doktrin kesatuan ilmu
mengatakan bahwa seluruh ilmu, baik ilmu alam maupun manusia, harus berada di
bawah payung paradigma positivistik. Doktrin kesatuan ilmu mengajukan
kriteria-kriteria bagi ilmu pengetahuan sebagai berikut:
bebas nilai, pengamat harus bebas dari kepentingan,
nilai, emosi dalam mengamati objeknya agar diperoleh pengetahuan yang objektif
ilmu pengetahuan harus menggunakan metode
verifikasi-empiris
bahasa yang digunakan harus; analitik (bisa dibenarkan
atau disahkan secara logis), bisa diperiksa secara empiris dan atau nonsens
bersifat eksplanasi, ilmu pengetahuan hanya diperbolehkan
melakukan penjelasan akan keteraturan yang ada di alam semesta, ia hanya
menjawab pertanyaan how dan tidak menjawab pertanyaan why. Positivisme menjadi
dogma epistemik dengan mengklaim bahwa ilmu pengetahuan harus mengikuti doktrin
unified science apabila ingin disebut ilmu pengetahuan ilmiah, bukan
semata-mata pengetahuan sehari-hari praktis eksistensial.
Ciri-ciri Positivisme antara lain:
objektif/bebas nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta
dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dari realitas dengan
bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang teramati dan terukur, maka
pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari realitas (korespondensi)
Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari
impresi-impresi. Ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa
impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan berada di
belakang gejala-gejala penampakan ditolak (antimetafisika)
Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili
realitas partikularlah yang nyata.
Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta
yang dapat diamati
Naturalisme, tesis tentang keteraturan
peristiwa-peristiwa di alam semesta yang meniadakan penjelasan supranatural
(adikodrati). Alam semesta memiliki strukturnya sendiri dan mengasalkan
strukturnya sendiri
Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan
dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin
(sistem-sistem mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai giant clock work.
Positivisme sebagaimana dikembangkan oleh August Comte,
biasa digolongkan dalam kategori positivisme sosial. Aliran positivisme jenis
ini dikembangkan di Inggris oleh para filsuf, seperti Jeremy Bentham, James
Mill, dan John Stuart Mill. Sedangkan di Italia, positivisme sosial
dikembangkan oleh Carlo Cattaneo dan Giuseppe Ferrari. Mereka berdua menganggap
diri sebagai orang yang melanjutkan karya Gambista Vico, tokoh yang menurut
mereka telah menempatkan sains tentang manusia pada pusat kemanusiaan sendiri.
Para penganut positivisme sosial di Jerman, seperti Ernest Lassa, Friederich
Jodl dan Eugen Duhring, lebih mengacu pada pemikiran Ludwig Feuerbach daripada
pemikiran Saint Simon dan August Comte. Walaupun terdapat perbedaan pendapat di
antara para penganut positivisme sosial, namun semuanya menaruh kepercayaan
besar pada sains, pada kemajuan aras dasar sains, dan pada bentuk pengaturan
sosial yang lebih baik sebagai akibat dari kemajuan tersebut.
Selain positivisme sosial juga muncul apa yang disebut
positivisme evolusioner yang dipelopori oleh orang-orang seperti Charles Lyell,
Charles Darwin, Herbert Spencer, Ernst Haeckel dan Wilhelm Wundt. Seperti
penganut positivisme sosial, para penganut positivisme evolusioner juga percaya
akan adanya kemajuan. Perbedaan antara mereka terletak pada alasan yang
mendasari kemajuan tersebut. Kalau positivisme sosial mendasarkan kemajuan pada
gejala perkembangan masyarakat dan sejarah, maka positivisme evolusioner
mendasarkan pada alam sebagaimana dapat dikenali oleh fisika dan biologi.
Positivisme evolusioner telah meninggalkan suatu warisan bagi dunia pemikiran
dewasa ini, berupa gagasan tentang adanya evolusi bersifat universal, satu
garis ke depan, berkeseinambungan, niscaya dan pasti bersifat progresif.
Di samping positivisme sosial dan positivisme
evolusioner, juga berkembang apa yang disebut positivisme kritis. Aliran
pemikiran ini, yang kadang juga disebut Kantianisme empiris, dipelopori oleh
pemikir-pemikir seperti Ernst Mach dan Richard Avenarius. Aliran pemikiran
positivisme kritis ini secara historis merupakan pendahulu dari aliran
pemikiran kelompok atau lingkungan Wina dan apa yang secara umum disebut
empirisme logis, empirisme imliah, neopositivisme atau positivisme logis.
ilmu pengetahuan harus menggunakan metode verifikasi-empiris
BalasHapusbahasa yang digunakan harus; analitik (bisa dibenarkan atau disahkan secara logis), bisa diperiksa secara empiris dan atau nonsens
bersifat eksplanasi, ilmu pengetahuan hanya diperbolehkan melakukan penjelasan akan keteraturan yang ada di alam semesta, ia hanya menjawab pertanyaan how dan tidak menjawab pertanyaan why. Positivisme menjadi dogma epistemik dengan mengklaim bahwa ilmu pengetahuan harus mengikuti doktrin unified science apabila ingin disebut ilmu pengetahuan ilmiah, bukan semata-mata pengetahuan sehari-hari praktis eksistensial.
Visit My Blog : BlogStoc.com
BalasHapus