A.
CITA HUKUM
1.
Hukum sebagai Sistem Norma dan Fungsi-fungsinya
Hukum dalam perkembangannya tidak hanya
mengatur tingkah laku dalam masyarakat tetapi hukum lebih sudah berkembang
sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat (law as a tool of social
enginnering) mengikuti proses yang berlaku dalam berbagai bidang baik secara
sosiologis, kultur, politis maupun ilmu pengetahuan dan tehnologi.
Hukum
sebagai sarana ini tercetus pada hasil keputusan Seniman Hukum Nasional ke III
tahun 1974 di Surabaya sebagai berikut “ Perundang-undangan terutama dalam
masyarakat dinamis dan sedang berkembang merupakan sarana untuk merealisasikan
kebijakan Negara dalam bidang-bidang ekonomi, sosial budaya, politik dan
pertahanan, keamanan nasional sesuai dengan skala prioritas dalam pembangunan
nasional”
Pengertian
Hukum
Hukum
pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan peraturan atau kaedah dalam
kehidupan bersama ; keseluruhan tentang tingkah laku dalam suatu kehidupan
bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi )
Namun
demikian hingga sekarang belum diperoleh pengertian hukum yang memadai dengan
kenyataan. Hal ini dikarenakan hukum memiliki banyak segi dan bentuk dan
meliputi segala lapangan kehidupan yang meliputi beberapa aspek seperti aspek
filosofis, sosiologis, kultur, politis, religi, iptek maupun aspek yuridis
normatif itu sendiri.
Hukum
sebagai suatu kenyataan dalam masyarakat karena mengatur perilaku dalam
kehidupan masyarakat yang dibuat oleh lembaga yang berwenang, untuk itu melalui
proses tertentu dan merupakan keputusan pejabat yang berwenang serta berisi
jalinan nilai-nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat.
Tujuan
Hukum
Hukum
sesungguhnya merupakan karya manusia sebagai cerminan kehendak dan
sasaran-sasaran masyarakat yang ingin dicapainya.
Teori
tentang tujuan hukum :
a.
Teori Etis
Isi
hukum ditentukan oleh keyakinan yang etis tentang apa yang adil dan tidak adil,
hukum bertujuan untuk merealisasikan atau mewujudkan keadilan, salah seorang
pendukung teori ini adalah Geny ). Keprihatinan mendasar dari teori etis ini
berfokus pada dua pernyataan tentang keadilan, yaitu (1) menyangkut hakikat
keadilan dan (2) menyangkut isi atau norma untuk berbuat konkrit dalam keadaan
tertentu.
Menurut
para penganut teori etis, bahwa hakikat keadilan itu terletak pada penilaian
terhadap suatu perlakuan atau tindakan. Dalam hal ini ada dua pihak yang
terlibat yaitu pihak yang memperlakukan dan pihak yang menerima perlakuaan,
misalnya antara orang tua dan anak, majikan dan buruh, hakim dan yustiabel,
pemerintah dan warganya serta kreditur dan debitur ).
Idealnya
hakekat keadilan itu harus dilihat dari dua belah pihak. Kesulitan yang timbul
yaitu terletak pada pemberian batasan terhadap isi keadilan, akibatnya dalam
praktek ada kecenderungan untuk memberikan penilaian terhadap rasa keadilan
hanya menurut pihak yang menerima perlakuan saja.
Menurut
Aristoteles keadilan dibedakan menjadi dua macam keadilan yaitu :
•
Yustisia Distributiae, yang menghendaki setiap orang mendapat apa yang menjadi
haknya,
•
Yustisia Commutative, yang menghendaki setiap orang mendapatkan hal yang sama
banyaknya (keadilan yang menyamakan).
b.
Teori Utilitas
Penganut
teori ini antara lain Jeremy Bentham, berpendapat bahwa tujuan hukum adalah
untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang
sebanyak-banyaknya (The greatest good of the greatest number). Pada hakekatnya
hukum dimanfaatkan untuk menghasilkan sebesar-besarnya kesenangan atau
kebahagiaan bagi sejumlah orang yang terbanyak.
c.
Teori Campuran
Bahwa
tujuan pokok hukum adalah ketertiban dan oleh karena itu ketertiban merupakan
syarat bagi adanya suatu masyarakat yang teratur.
Disamping
ketertiban, Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa tujuan lain dari hukum
adalah untuk mencapai keadilan secara berbeda-beda, baik isi mapun ukurannya
menurut masyarakat dan zamannya )
Fungsi-fungsi
Hukum
Hoebel
menyimpulkan adanya empat fungsi dasar hukum, yaitu : )
1.
menetapkan hubungan antara anggota masyarakat dengan menunjukan jenis tingkah
laku apa yang diperkenankan dan apa pula yang dilarang;
2.
menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa saja yang boleh melakukan
paksaan serta siapakah yang harus mentaatinya dan sekaligus memilihkan
sanksi-sankinya yang tepat dan efektif;
3.
menyelesaikan sengketa;
4.
memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi
kehidupan yang berubah.
Hukum
pada dasarnya mempunyai banyak fungsi dalam usahanya mencapai tujuan-tujuan
yang telah ditetapkan. Pada masyarakat sederhana yang masih kecil jumlahnya,
dimana pola hubungan antara para anggota masyarakat terjalin sangat erat
berdasarkan azas kekerabatan, selain itu sentimentil dan kepercayaan yang sama
dan mempunyai lingkungan yang relatif stabil maka penyelenggara keadilan lebih
nampak mudah. Dalam suasana kebersamaan seperti itu keterperincaian tata aturan
tidak terlalu diutamakan, bahkan peraturan-peraturan tidak resmi yang dipandang
sebagai standar bertingkah laku dalam masyarakat dianggap sudah sangat memadai.
Hart menyebutkan tatanan hukum seperti itu sebagai Primary Rules of Obligation.
Kelemahan yang dijumpai pada peraturan yang demikian adalah ketidakpastian
karena ikatan peraturan yang tidak merupakan satu sistem,
peraturan-peraturannya bersifat statis dan cara-cara mempertahankan tatanan
hukum itupun tidak dilakukan secara efisien.
Sebaliknya
dalam masyarakat yang sudah semakin komplek, tidak cukup tatanan hukum primer
(primary rules) melainkan sudah membutuhkan tatanan hukum yang memiliki
kewajiban sekunder (secondary rules of obligation), peraturan-peraturan
sekunder itu antara lain peraturan-peraturan yang berisikan tentang pengakuan
norma tertentu (rules of recoguition) sehingga jelas dan pasti apa yang
merupakan kaidah mengenai perbuatan atau hubungan tertentu, peraturan-peraturan
yang menggarap perubahan-perubahan (rules of change) dan peraturan bagi
penyelesaian sengketa (rules of adjudication). Beranjak dari sini, maka kedepan
perlu pengaturan dalam pengelenggaraan keadilan secara lebih terorganisasi )
Hukum
sebagai suatu sistem norma, menurut Hane Kelsen dalam teori Stufen yaitu hukum
dalam sistem berjenjang dengan susunan piramida terbalik, yang tertinggi adalah
Grund norm sebagai cita hukum hingga perwujudan yang paling rendah yang disebut
individual norm. Oleh karena itu dalam tata susunan norma hukum tidak
dibenarkan adanya kontradiksi antara norma hukum yang lebih rendah dengan norma
hukum yang lebih tinggi. Pemahaman ini semakin penting artinya Hukum harus
efisien, eksis dan mengandung sanksi sebagai suatu sistem norma mempunyai daya
guna dalam menjalankan tugasnya dalam kehidupan masyarakat.
2.
Fungsi Cita Hukum Dalam Pembangunan Hukum yang Demokratis.
Cita
Hukum atau grundnorm merupakan kunci pembentukan Hukum bagi Negara kita
Indonesia. Cita Hukum (Rechtsidee) tidak lain adalah Pancasila karena cita
Hukum ada didalam cita bangsa Indonesia baik berupa gagasan, rasa, cipta dan
pikiran, sedangkan Hukum merupakan kenyataan dalam kehidupan yang berkaitan
dengan nilai-nilai yang diinginkan dan bertujuan mengabdi kepada nilai-nilai
tersebut.
Dalam
pembentukan Hukum agar mencapai sasaran dengan cara yang sebaik-baik nya perlu
kiranya bantuan dari Sosiologi Hukum, Tata Hukum dan ilmu tentang perencanaan
sangat diperlukan, artinya masalah pengaturan oleh Hukum bukanlah semata
persoalan-persoalan legalitas formal yakni tentang bagaimana mengatur sesuatu
sesuai dengan prosedur Hukum, melainkan juga tentang bagaimana mengatur
sehingga dalam masyarakat timbul efek-efek yang memang dikehendaki oleh Hukum.
Apalagi kehidupan dewasa ini semua perencanaan
kebijaksanaan dan program-program pembangunan cenderung menjadikan pranata
Hukum sebagai sandaran nya. Oleh karena itu pemahaman yang luas tfungsi Hukum
di zaman sekarang menjadi sangat penting artinya dalam pembentukan Hukum yang
demokratis terlebih dahulu melalui konteks pemahaman masalah baik secara sosiologis
maupun politis. Dalam pengertian bahwa sebelum memasuki tahapan yuridis, proses
pembentukan peraturan harus sudah melalui tahapan sosio – politis secara final
dan proses ini memerlukan waktu yang panjang.
Dari
proses ini akhirnya dapat diprediksikan seperti apa norma yang akan lahir
ketika peraturan itu dibuat, terutama mengenai substansi dari norma-norma Hukum
tersebut.
Dengan
memasukkan tahapan sosiologis dan politis sebagai bagian dari kegiatan
penyusunan produk Hukum yang demokratis, sesungguhnya bukan sekedar proses
Yurudis, akan tetapi merupakan proses yang melibatkan berbagai komponen sistem
yang cukup rumit dan berragam. Pemahaman yang demikian akan menjadi titik tolak
untuk menilai apakah sesuatu produk Hukum yang dihasilkan itu berkualitas atau
tidak, apakah didukung oleh sikap dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat
atau ditentang.
Keadaan
Hukum tidak dapat dipahami terlepas dari konteks sosial dan konteks politis.
Mencari model penyusunan peraturan perundang-undangan yang demokratis,
diharapkan dapat menghasilkan kondisi Hukum yang responsive sehingga dapat
menjawab berbagai tuntutan di masyarakat. Hal ini dapat tercapai bila legal and
political aspiration integrated, occees eularged by integrated of legal and
social advocacy. Disamping itu penyusunan peraturan perundang-undangan yang
demokratis membutuhkan partisipasi, problem centered dan pendelegasian yang
lebih luas.
3.
Pergeseran Paradigma Hukum : Dari Paradigma Kekuasaan Menuju Paradigma Moral.
Pergeseran
Paradigma Hukum dari Paradigma kekuasaan menuju Paradigma Moral membutuhkan
dukungan semua komponen bangsa terutama kaum intelektual akademisi dengan
mengembangkan pokok-pokok pikiran, ide-ide, konsep dan pemikiran yang positif
agar gerakan reformasi ini dapat mencapai tujuan yang dapat dinikmati oleh
semua rakyat Indonesia.
Kehidupan
Hukum Indonesia yang cenderung berkiblat pada paradigma kekuasaan. Kehidupan
Hukum yang demikian itu menuntut suatu perombakan mendasar dengan menggantikan
paradigma kekuasaan dengan paradigma moral agar Hukum tampil lebih demokratis
dan dapat merespon kebutuhan dan harapan bangsa Indonesia, sesuai dengan
nilai-nilai yang ada dalam cita Hukum kita.
Transformasi
Hukum dalam era global mengharuskan Indonesia untuk menata sebuah tatanan Hukum
Nasional yang tidak hanya memperhatikan karakteristik-karakteristik local,
melainkan juga perubahan-perubahan yang terjadi ditingkat global. Terutama
sekali dalam hal mempersiapkan bangsa ini menghadapi millennium ke 3. Tantangan
yang cukup berat terutama bagi kalangan akademisi adalah tanggung jawab untuk
secara aktif dan ketulusan kita membantu, menggali, membahas, menemukan dan
memberikan makna bagi setiap isu yang muncul kepermukaan, agar dapat
diketemukan solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan akibat reformasi
disegala bidang kehidupan baik politik, ekonomi maupun Hukum menuju terciptanya
masyarakat madani yang berlandaskan nilai-nilai dasar Pancasila.
Dalam
era globalisasi ini yang merupakan proses kebudayaan dimana ada kecenderungan
wilayah di dunia menjadi satu dalam format social – politik – ekonomi. Disatu
sisi globalisasi menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kelimpahan material,
sementara disisi lain menciptakan berbagai problem sosial (budaya konsumtif),
memicu peningkatan kriminalitas, korupsi, kerusakan ekologi, gaya hidup baru,
dan sebagainya.
Untuk
menghindari budaya konsumtif (consumer culture) perlu diciptakan iklim yang
demokratis agar dapat menumbuhkan kesadaran Hukum dan kesadaran kritis bagi
semua lapisan masyarakat dalam mewujudkan lembaga atau institusi yang dapat
memberikan perlindungan dan keadilan (misalnya perlindungan konsumen, etika
bisnis, etika profesi, etika periklanan beserta alat kontrolnya).
Untuk
mengaktualisasikan tujuan membentuk masyarakat madani yang berdasarkan cita
Hukum Pancasila, maka perubahan pada paradigma dalam tatanan Hukum perlu
diwujudkan dalam setiap tahap pekerjaan Hukum. Tugas berat ini perlu didukung
oleh sumber daya manusia yang dididik dengan kurikulum yang diorientasikan
terwujud nya cita-cita bangsa. Tanpa melibatkan unsur pendidikan, khususnya
pendidikan Hukum mustahil reformasi Hukum yang berparadigma moral dapat
berhasil.
Demikian
pula perlu penataan kembali secara simultan bidang ekonomi, politik dan
membangun budaya Hukum yang dilandasi oleh nilai-nilai dasar bangsa yang
terumus secara normative, selain itu dalam mengimplementasikan nilai-nilai
dasar bangsa tidak boleh mengabaikan aspek kenyataan sosial ditingkat domistik
maupun internasional. Langkah ini penting dilakukan karena masing-masing karena
masing-masing sub system tersebut saling merasuki secara intensif.Oleh karena
itu Hukum hendaknya benar-benar memiliki fungsi sebagai pengintegrasi yang
menerima, mengolah dan menghasilkan berbagai masukan dari sub sistem-sub sistem
tersebut.
B.
BUDAYA HUKUM.
1.
Peranan Kultur Hukum dalam Penegakan Hukum
Pada hakekatnya Hukum mengandung ide atau
konsep. Konsep yang abstrak, sekalipun abstrak tapi dibuat untuk
diimplementasikan dalam kehidupan sosial sehari-hari. Oleh sebab itu perlu
adanya suatu kegiatan untuk mewujudkan ide-ide tersebut kedalam masyarakat.
Rangkaian kegiatan ini dalam rangka mewujudkan ide-ide tersebut menjadi
kenyataan yang merupakan suatu proses penegakkan Hukum.
Ketika
hukum yang srat dengan nilai-nilai itu hendak dilaksanakan, maka hukum harus
berhadapan dengan berbagai macam faktor yang mempengaruhi dari lingkungan
sosialnya.
Penegakkan
Hukum hendaknya tidak dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri melainkan
selalu berada diantara berbagai faktor, hubungan Hukum dengan factor-faktor non
Hukum terutama factor nilai dan sikap serta pandangan masyarakat, yang
selanjutnya disebut dengan Kultur Hukum.
Hukum
sebagai system yang selalu berorientasi pada suatu tujuan dan system itu selalu
berinteraksi dengan system yang lebih besar yaitu lingkungannya dan bekerjanya
system itu menciptakan sesuatu yang berharga.
Pemahaman sistem yang demikian itu
mengisyaratkan bahwa persoalan Hukum yang kita hadapi sangat kompleks. Disatu
sisi Hukum dipandang sebagai suatu sistem nilai yang secara keseluruhan
dipayungi oleh suatu norma dasar yang disebut grund norm atau basic norm. Norma
dasar itulah yang dipakai sebagai dasar sekaligus pembentuk penegakkan Hukum.
Sebagai system nilai, maka grund norm itu merupakan sumber nilai dan juga
sebagai pembatas dalam penerapan Hukum.
Dari perspektif yang lain, Hukum merupakan
bagian dari lingkungan sosialnya. Dengan demikian, Hukum merupakan salah satu
sub sistem diantara subsistem-subsistem sosial lain, seperti sosial, budaya,
politik dan ekonomi. Itu berarti Hukum tidak dapat dipisah-pisahkan dengan
masyarakat sebagai basis bekerja nya. Disini tampak bahwa Hukum berada diantara
dunia nilai atau dunia ide dengan dunia kenyataan sehari-hari yaitu dunia nilai
dan dunia realitas )
Faktor kultur Hukum memegang peranan yang
sangat penting didalam penegakkan Hukum. Kultur Hukum berfungsi untuk
menjembatani sistem Hukum dengan tingkah laku masyarakatnya. Seseorang
menggunakan atau tidak menggunakan dan patuh antara tidak patuh terhadap Hukum
sangat ditentukan oleh nilai-nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat.
2.
Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Fungsi Hukum.
Hampir setiap bidang kehidupan sekarang ini
diatur oleh peraturan-peraturan Hukum. Campur tangan Hukum yang semakun meluas
ke dalam bidang kehidupan masyarakat menyebabkan masalah efektivitas penerapan
Hukum menjadi semakin penting untuk diperhitungkan artinya Hukum harus bisa
menjadi institusi yang bekerja secara efektif di dalam masyarakat.
Bagi masyarakat yang sedang membangun, Hukum
selalu dikaitkan dengan usaha-usaha untuk meningkatkan taraf kehidupan
masyarakat, kearah yang lebih baik. Oleh karena itu peranan Hukum semakin
menjadi penting dalam mewujudkan tujuan itu.
Fungsi Hukum tidak cukup hanya sebagai kontrol
sosial melainkan fungsi Hukum diharapkan untuk melakukan usaha menggerakkan
rakyat agar bertingkah laku sesuai dengan cara-cara baru untuk mencapai suatu
tujuan yang dicita-citakan. Untuk bertingkah laku sesuai dengan ketentuan Hukum
inilah diperlukan kesadaran Hukum dari masyarakat karena faktor tersebut
merupakan jembatan yang menghubungkan antara peraturan-peraturan Hukum dengan
tingkah laku anggota-anggota masyarakat.
Menurut Lawrence M. Friedman hal ini terkait
erat dengan budaya-budaya Hukum, yang dimaksudkan dengan Budaya Hukum disini
adalah berupa katagori nilai-nilai, pandangan-pandangan serta sikap-sikap yang
mempengaruhi bekerja nya Hukum.
Sekarang ini fungsi Hukum seolah-olah sedang
mengalami pergeseran, itu berarti Hukum harus mendukung usaha-usaha yang sedang
dilakukan untuk membangun masyarakat baik secara phisik maupun spiritual.
Hukum menjadi sarana bagi mereka yang
mempunyai kekuasaan dalam pemerintahan untuk menetapkan dan menyalurkan
berbagai kebijaksanaan pembangunan. Dengan demikian segala kebijaksanaan
pemerintah dapat dirumuskan dengan jelas dan terbuka melalui institusi yang
nama nya Hukum. Disini Hukum menjadi sandaran bagi semua pihak, terutama
instansi yang terlibat di dalam proses pembangunan atau pelaksanaan
keputusan-keputusan pembangunan )
Namun harus diakui bahwa pembuat kebijaksanaan
mempunyai kedudukan sosial yang berbeda dengan mereka yang menjadi sasaran
kebijaksanaan, bahkan posisi pembuat kebijaksanaanlah yang lebih strategis dan
menentukan dalam posisi inilah mereka “cenderung” menetapkan keputusan yang
lebih mencerminkan nilai-nilai dan keinginan-keinginan dari golongan mereka.
Kebijaksanaan menyangkut peningkatan kesejahteraan hanyalah merupakan tanggung
jawab mereka sebagai golongan elite yang sedang berkuasa- Dengan demikian, para
pengambil kebijaksanaan dapat dengan leluasa membuat apa saja, termasuk
menjatuhkan pilihannya kepada sistem Hukum yang modern rasional sebagai saluran
legitimasi. Sementara seluruh hal yang diputuskan tidak selalu sejalan dengan
kesiapan masyarakat untuk menerimanya, akibatnya apa yang diputuskan melalui
Hukum tidak dapat dilaksanakan dengan baik dalam masyarakat, karena tidak
sejalan dengan nilai-nilai, sikap-sikap serta pandangan-pandangan yang telah
dihayati oleh anggota masyarakat.
Hukum
Modern dan Budaya Hukum.
Sistem Hukum yang modern mempunyai cirri-ciri
tertentu. Menurut Marc Galanter, sistem Hukum yang modern bersifat teritorial,
tidak bersifat personal, universitalitas, rasional, Hukum dinilai dari
kegunaannya sebagai sarana untuk menggarap masyarakat )
Membicarakan persoalan Hukum yang demikian itu
senantiasa dikaitkan dengan basis sosial dimana Hukum itu bekerja. Ternyata
perkembangan struktur sosial Indonesia kurang sesuai dengan Hukum modern yang
dikembangkan elite penguasa. Dengan kata lain struktur sosial bangsa Indonesia
belum seluruhnya diserap oleh Hukum modern sebagai basis sosialnya. Akibatnya
banyak contoh yang menggambarkan kepincangan pelaksanaan Hukum modern buatan
elite penguasa.
Nenurut Lon Fuller ada 8 (delapan) prinsip
legalitas yang harus diikuti dalam membuat Hukum, yaitu : )
-
harus ada peraturannya terlebih dahulu
-
peraturan itu harus diumumkan secara layak
-
peratutan itu tidak boleh berlaku surut
-
perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas dan terperinci serta harus dapat
dimengerti oleh rakyat
- hukum
tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak mungkin
-
diantara sesame peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama lain.
-
peraturan-peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah
-
harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat Hukum dan
peraturan-peraturan yang telah dibuat.
Kegagalan
untuk mewujudkan salah satu dari nilai-nilai tersebut dapat menimbulkan
hasil-hasil yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan dari isi
peraturan itu.
Namun
demikian sebaik apapun Hukum yang dibuat, tapi pada akhirnya sangat ditentukan
oleh budaya Hukum masyarakat yang bersangkutan.
Harus
disadari bahwa sekitar 80% rakyat Indonesia hidup dipedesaan yang menyebar,
disekitar 60.415 desa diseluruh Indonesia. Pada umumnya taraf hidup mereka
miskin dan tingkat pengetahuan nya tergolong rendah, bagaimana mungkin kita
dapat menuntut rakyat desa tersebut untuk bertingkah laku sesuai dengan makna
peraturan Hukum, mereka tidak dapat mengetahui isinya karena sulit mengerti
bahasa Hukum, komunikasi Hukum pun semata-mata hanya sekedar untuk memenuhi
syarat formal, yaitu dengan dimuatnya dalam Lembaran Negara. Saluran komunikasi
yang tidak terorganisasi secara baik dan rapih akan berdampak pada kekeliruan
informasi mengenai isi peraturan Hukum yang ingin disampaikan kepada
masyarakat.
Sebagai
akibat lanjutannya, timbul perbedaan antara apa yang dikehendaki oleh
Undang-undang dengan praktek yang dijalankan oleh masyarakat . bagaimana
seseorang dapat diharapkan bertingkah laku sesuai dengan perubahan yang
dikehendaki oleh Hukum apabila tidak mengerti pembuatan bagaimana sesungguhnya
harus dilakukannya.
Tiadanya
komunikasi tentang makna peraturan maka rakyat tetap bertingkah laku sesuai
dengan apa yang telah menjadi pandangan maupun nilai-nilai yang telah
melembaga.
Kegagalan
Hukum Modern : Kasus Bagi Hasil
Contoh
kegagalan Hukum modern menurut temuan Fakultas Hukum Undip tentang Peranan
Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Pelaksanaan Undang-undang Bagi Hasil (UUPBH)
tahun 1976, dalam konsiderans UUPBH : pertama mengupayakan agar pembagian hasil
tanah antara pemilik dan penggarap dilakukan secara adil, kedua mengupayakan
agar kedudukan Hukum penggarap dapat terjamin dengan baik, dengan merumuskan
secara tegas hak-hak dan kewejiban-kewajiban penggarap maupun pemilik.
Jelaslah
bahwa para pembuat undang-undang itu berkeinginan untuk mengangkat kedudukan
petani penggarap dengan melindungi hak-haknya untuk mencapai tujuan itu, UUPBH
menentukan beberapa syarat sebagai berikut : )
ƒ{
tanah garaapan tidak boleh melebihi 3 ha
ƒ{
perjanjian dibuat secara tertulis dihadapan Kepala Desa dengan 2 orang saksi
ƒ{
batas waktu minimum untuk masa perjanjian adalah 3 tahun untuk tanah basah, dan
5 tahun untuk tanah kering
ƒ{
besarnya bagian hasil tanah bagi penggarap dan pemilik ditetapkan oleh Bupati
ƒ{
pembayaran/pemberian benda apapun kepada pemilik dengan maksud untuk memperoleh
tanah garapan adalah terlarang
ƒ{
penuntutan perjanjian sebelum berakhirnya jangka waktu hanya mungkin dengan
persetujuan kedua pihak atau atas permintaan pemilik dalam hal penggarap tidak
mengusahakan tanah sebagaimana mestinya
ƒ{
kewajiban untuk membayar Pajak dilarang untuk dibebankan kepada penggarap.
Dari
hasil penelitian ternyata tingkat kebutaan masyarakat terhadap undang-undang
melampaui 75% sedangkan penyimpangan dari norma-norma yang telah ditentukan
terungkap dalam 92,2% perjanjian bagi hasil.
Penyimpangan
itu antara lain tidak membutuhkan saksi, tidak dilakukan secara tertulis, tidak
mengindahkan batas waktu perjanjian.
Faktor
yang agak menarik dalam penelitian ini adalah kebiasaan untuk memberi sesuatu
kepada pemilik tanah agar dapat memperoleh tanah garapan tetap dilaksanakan
walaupun undang-undang melarang.
Kebiasaan
itu terjadi didaerah subur seperti Delanggu. Disana dijumpai semacam seller’s
market dan dengan sendirinya para calon penggarap harus bersaing terlebih
dahulu untuk dapat memperoleh tanah garapan.
Jadi,
apa yang bisa dilakukan oleh budaya Hukum disitu ditentukan oleh cara mereka
melakukan adaptasi terhadap lingkungan.
Kegagalan
Hukum Modern : Kasus Perkawinan
Penelitian
yang dilakukan oleh PSHP Fakultas Hukum Airlangga tentang efektivitas ketentuan
umur minimal untuk Kawin (19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita) di
Bangkalan Madura ), dari hasil penelitian tersebut pengetahuan Kepala Desa yang
dapat menyebutkan batasan umur kawin dengan tepat hanya mencapai 25,38%,
selebihnya bahkan sebagian besar Kepala Desa tidak mengetahui dengan pasti
ketentuan batas umur kawin.
Penelitian
ini menemukan juga bahwa kebiasaan mengawinkan anak dibawah umur 16 tahun tetap
saja dilaksanakan oleh masyarakat desa di wilayah Kabupaten Bangkalan. Sekitar
64,62% perkawinan dibawah umur ditemukan disebagian besar desa-desa wilayah
Kabupaten Bangkalan.
Temuan-temuan
sebagaimana diuraikan diatas mengisyaratkan, bahwa untuk memasukkan nilai-nilai
yang baru ke dalam masyarakat memerlukan perubahan sikap dari anggota
masyarakatnya.
Hukum
Sebagai Karya Kebudayaan.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi
merumuskan pengertian kebudayaan itu sebagai hasil karya, rasa dan cipta
masyarakat. )
Hasil karya masyarakat menghasilkan teknologi
dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan materiil yang diperlukan oleh manusia
untuk memanfaatkan alam sekitar, untuk memenuhi segala keperluan hidupnya.
Rasa
meliputi kejiwaan manusia, mewujudkan segala kaedah-kaedah serta nilai-nilai
social dan budaya yang diperlukan untuk mengatur masalah-masalah
kemasyarakatan.
Selanjutnya cipta merupakan kemampuan mental
dan kemampuan berpikir dari orang-orang yang hidup bermasyarakat dan
menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan.
Kebudayaan mencakup suatu system tujuan-tujuan
dan nilai-nilai tertentu artinya kebudayaan merupakan suatu blue print of
behavior yang memberikan pedoman tentang apa yang harus dilakukan, boleh
dilakukan dan apa yang dilarang, sebagai pedoman dan pendorong bagi perilaku
manusia didalam proses interaksi social.
Hukum merupakan konkretisasi nilai-nilai yang
terbentuk dari kebudayaan suatu masyarakat. Oleh karena setiap masyarakat
menghasilkan kebudayaan, maka Hukumpun selalu ada di setiap masyarakat dan
tampil dengan ke khasannya masing-masing, mempunyai bahasa sendiri, yang tidak
dapat diterapkan Hukum suatu Negara tertentu kepada Negara dan bangsa lain,
karena Hukum mencerminkan jiwa rakyat (volks geist).
Komponen
Budaya Hukum.
Daniel S. Lev ) didalam karangannya “Yudicial
Institution and Legal Culture in Indonesia” menguraikan tentang sistem Hukum
dan budaya Hukum.
Menurut
Lev sistem Hukum menekankan pada prosedur tetapi tidak menjelaskan bagaimana
sesungguhnya orang-orang itu menyelesaikan masalahnya didalam kehidupan
sehari-hari.
Adapun budaya Hukum diperinci kedalam
“nilai-nilai Hukum procedural” dan “nilai-nilai Hukum substantip” yaitu cara
pengaturan masyarakat dan manajemen konflik, sedangkan komponen substantip
terdiri dari asumsi-asumsi fundamental mengenai distribusi maupun penggunaan
sumber-sumber di dalam masyarakat.
Budaya
hokum merupakan unsure yang penting untuk memahami perbedaan-perbedaan yang
terdapat diantara sistem Hukum yang satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut Lawrence M. Friedman
memasukkan komponen budaya Hukum sebagai bagian integral dari suatu sistem
Hukum.
Friedman
membedakan unsur system itu ke dalam 3 (tiga) macam yaitu (1) struktur; (2)
substansi dan (3) kultur ).
Komponen struktur adalah kelembagaan yang
diciptakan oleh sistem Hukum dengan berbagai fungsi nya dalam mendukung bekerja
nya sistem Hukum.
Komponen
substansi adalah luaran dari sistem Hukum termasuk didalam nya norma-norma yang
antara lain berwujud peraturan perundang-undangan yang semua nya itu digunakan
untuk mengatur tingkah laku manusia.
Sedangkan “kultur” (budaya) adalah nilai-nilai
dan sikap-sikap yang merupakan pengikat sistem itu serta menentukan tempat
sistem itu ditengah-tengah budaya bangsa sebagai keseluruhan.
Friedman
menegaskan bahwa a legal system in actual operation is a complex organism in
which structure, substance, and culture interact.
Menuju
Efektivitas Hukum.
Hukum efektif apabila perilaku-perilaku
manusia didalam masyarakat sesuai dengan yang telah ditentukan dalam
aturan-aturan Hukum yang berlaku.
Menurut
Paul dan Dias ada 5 syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan system
Hukum yaitu :
1.
mudah tidaknya makna aturan-aturan Hukum untuk ditangkap dan dipahami.
2.
luas tidaknya kalangan didalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan
Hukum yang bersangkutan.
3.
effisien dan efektif tidak nya mobilisasi aturan-aturan Hukum.
4.
adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang musah dijangkau dan dimasuki oleh
setiap warga masyarakat melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan
sengketa.
5.
adanya anggapan dan pengakuan yang merata dikalangan warga masyarakat bahwa
aturan-aturan dan pranata-pranata Hukum memang sesungguhnya berdaya kemampuan
efektif.
Dengan
contoh hasil penelitian di Bangkalan Madura tentang Kepala Desa sebagai orang
yang memegang peranan penting tetapi tidak mengetahui isi Undang-undang
Perkawinan bahkan batas umur minimum saja untuk kawin tidak tahu persis, maka
masyarakat tetap bertingkah laku sesuai dengan pandangan-pandangan maupun
nilai-nilai yang telah ada didalam masyarakat.
Oleh
karena itu komunikasi Hukum merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi
agar Hukum berlaku efektif, selain factor sarana juga perlu diperhatikan
penyampaian isi suatu peraturan agar dapat dimengerti, demikian (Fuller, Paul
& Dias, Howard, Mumners, maupun Friedman menyatakan hal yang serupa.
Melembagakan
Nilai Hukum Baru.
Pada
akhirnya anggota-anggota masyarakat sebagai adresat dituntut untuk bertingkah
laku sesuai dengan makna undang-undang.
Menurut
Chambliss dan Seidman adresat adalah pemegang peran yang diharapkan (Role
Expectation) karena yang paling ber`pengaruh terhadap pemegang peran adalah
budaya Hukum nya maka terjadilah berbagai macam kepincangan dalam pelaksanaannya.
Timbulah
ketidakcocokan antara peran yang diharapkan dengan peran yang dilakukan (Role
performance). Dalam rangka pembentukan kesadaran Hukum perlu adanya proses
pelembagaan dan internalisasi, organisasi yang rapi, sistem pengawasan yang
rapi dan tidak putus-putus nya berusaha menjangkau hal-hal yang tampaknya tidak
mungkin dicapai.
Bagan
Proses Pelembagaan )
Proses
pelembagaan = Efektivitas menanamkan unsur-unsur
baru
Kekuatan yang menentang dari masyarakat
Kecepatan menanamkan unsur-unsur baru
3.
Pembinaan Kesadaran Hukum.
Membina kesadaran hukum masyarakat merupakan
tuntutan pembaharuan social dewasa ini dan menjadi perhatian pemerintah dan
mulai digalakan dalam berbagai usaha pembangunan.
Dalam masa pemerintahan ORBA melalui TAP MPR
No. IV/MPR/1978 sebagaimana dirumuskan sebagai berikut :
1)
pembangunan di bidang hukum didasarkan atas landasan sumber tertib hukum
seperti terkandung dalam Pancasila, dan Undang-undang Dasar 1945.
2)
guna meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam mengayomi masyarakat,
yang merupakan syarat bagi terciptanya stabilitas nasional yang mantap, maka
aparatur pemerintah pada umumnya dan aparatur penegak hukum pada khususnya
perlu terus dibina dan dikembangkan untuk peningkatan kemampuan serta
kewibawaannya.
3)
pembangunan dan pembinaan dibidang hukum diarahkan agar hukum mempu memenuhi
kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan pembangunan sehingga dapat diciptakan
ketertiban dan kepastian umum.
4)
usaha-usaha penertiban badan-badan penegak hukum perlu dilanjutkan.
5)
usaha meningkatkan kemampuan dan kewibawaan aparat penegak hukum perlu
dilanjutkan.
6)
meningkatkan kesadaran hukum sehingga masyarakat menghayati hak dan
kewajibannya
7)
meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum kearah tegaknya hukum,
keadilan dan pembinaan perlindungan harkat dan martabat manusia, ketertiban
serta kepastian hukum sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.
Jadi tegaknya suatu peraturan hukum baru akan
menjadi kenyataan bilamana didukung oleh adanya kesadaran hukum dari segenap
warga mayarakat.
Terminologi
Kesadaran Hukum.
Kesadaran hukum dalam konteks ini, berarti
kesadaran untuk bertindak sesuai dengan ketentuan hukum yaitu merupakan
jembatan yang menghubungkan antara peraturan-peraturan hukum dengan tingkah
laku hukum anggota masyarakat.
Sedangkan
Friedugan lebih condong menyebutnya sebagai bagian dari “kultur hukum” yaitu
nilai-nilai, sikap-sikap yang mempengaruhi bekunya hukum.
Menurut
Sunaryati Hartono, kesadaran hukum itu berakar didalam masyarakat, ia merupakan
abstraksi yang lebih rasional dari pada perasaan hukum yang hidup didalam
masyarakat.
Sikap
Moral : Kunci Kesadaran Hukum.
Masalah kesadaran hukum ini timbul apabila
nilai-nilai yang akan diwujudkan dalam peraturan hukum itu merupakan
nilai-nilai yang baru.
Sudah
cukup banyak penelitian yang menemukan bahwa kesadaran hukum masyarakat
terhadap peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh Negara masih jauh dari
harapan.
Sikap moral ini memang dapat diubah, tetapi
dengan cara perlahan-lahan dan dengan suatu usaha yang terus menerus serta
bervariasi sesuai dengan kultur setempat.
Motivasi
Bertingkah Laku.
Ada tiga variable utama seseorang pemegang
peran aakan bertindak sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak yaitu :
1)
apakah normanya telah disampaikan.
2)
apakah normanya serasi dengan tujuan –tujuan yang diterapkan bagi posisi itu
3)
apakah si pemegang peran digerakan oleh motivasi yang menyimpang.
Menurut Seidman model dibawah ini menunjukan
pemegang peran berkehendak meneyesuaikan diri dengan keharusan norma karena
komunikasi hukum itu sangat penting. Sementara pemegang peran mempunyai tingkah
laku yang mungkin conform mungkin pula tidak konform.
TINGKAH LAKU
Konform (+) Konform (-)
Konform
(+) (1) + + (2) + -
Konform
(-) (2) + - (4) - -
adanya
ketidakcocokan antara peranan yang diharapkan oleh norma dengan tingkah laku
yang nyata, karena fungsi hukum tidak lagi sekedar merekam kembali pola-pola
tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat. Melainkan hukum ingin membentuk
pola-pola tingkah laku yang baru. Ciri ini mengandung arti bahwa fungsi hukum
tidak hanya sebagai sosial kontrol melainkan sebagai sarana untuk mewujudkan
suatu masyarakat (baru) yang dicita-cita kan, hukum sebagai sarana social
engineering sehingga untuk memaksimalkan fungsi hokum mau tidak mau harus
ditunjang oleh tingkat kesadaran hukum masyarakat yang memadai.
Faktor
Penentu Kesadaran Hukum.
Menurut bagan yang telah diberikan oleh
Seidman kita dapat memahami bahwa proses bekerja nya hukum itu sangat
ditentukan oleh beberapa factor penting yaitu :
1)
peraturan-peraturan hukum nya
2)
badan pembuat undang-undang
3)
badan pelaksana hokum (sanctioning agencies)
4)
masyarakat sebagai sasaran pengaturan
5)
proses penerapan hukum
6)
komunikasi hukum nya
7)
kompleks kekuatan sosial politik dan lain-lain yang bekerja atas diri pembuat
undang-undang, birokrat (pelaksana hukum) maupun masyarakat sendiri sebagai
pemegang peran.
8)
proses umpan balik antara semua komponen tersebut.
Salah satu sumber bagi tidak ditaatinya suatu
peraturan adalah faktor inkonsistensi dalam pelaksanaan hukum disamping faktor
komunikasi hukumnya juga.
Pertimbangan
Pembuatan Hukum.
Perlu adanya persiapan fasilitas dan sarana
yang dapat menumpang terlaksananya suatu yang peraturan sebelum dikelaurkannya
peraturan sehingga pembuatan hukum merupakan suatu “rencana bertindak” (plan of
action) )
Menurut
A. Podgorechi ada empat azas pokok yang perlu diperhatikan dalam mewujudkan
tujuan sosial yang dikehendaki, yakni : )
1.
suatu penggambaran yang baik menegenai situasi yang dihadapi.
2.
membuat suatu analisa mengenai penilaian-penilaian yang ada dan menempatkannya
dalam suatu urutan hirarki. Analisis disini meliputi pula perkiraan mengenai
apakah cara-cara yang akan dipakai tidak akan lebih menimbulkan suatu efek yang
baik malah memperburuk keadaan.
3.
melakukan verifikasi hipotesis-hipotesis seperti apakah suatu cara yang
dipikirkan untuk dilakukan itu pada akhirnya membawa kita kepada tujuan
sebagaimana yang dikehendaki.
4.
pengukuran terhadap efek peraturan-peraturan yang ada.
Pembinaan
Kesadaran Hukum
Pada dasarnya kesadaran hukum itu merupakan
kontrol agar hukum yang telah dibuat itu dapat dijalankan dengan baik didalam
masyarakat. Masalah pembinaan kesadaran hukum menjadi penting artinya bila kita
bicara soal hukum sebagai konsep yang modern, bukan dilihat dari legitimasinya
saja melainkan juga dari segi efektivitasnya. Oleh karena itu jika kita ingin
agar hukum modern itu dapat terlaksana dengan baik maka struktur masyarakat pun
perlu dikembangkan untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan hukum yang
demikian itu. Ini penting dilakukan mengingat struktur masyarakat Indonesia
hingga saat ini belum seluruhnya memenuhi tuntutan sistem hukum modern.
Kesadaran untuk memerlukan hukum sebagai
sarana yang sengaja dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki
dinyatakan pula dalam salah satu keputusan Seminar Hukum Nasional ke III tahun
1974 di Surabaya, yang dirumuskan sebagai berikut : “Perundang-undangan
terutama dalam masyarakat dinamis dan yang sedang berkembang, merupakan sarana
untuk merealisasi kebijaksanaan-kebijaksanaan negara dalam bidang-bidang
ekonomi, sosial, budaya, politik, pertahanan dan keamanan nasional sesuai
dengan skala prioritas dan pertahanan pembangunan nasional”
C.
HUKUM DAN KEBIJAKSANAAN PUBLIK.
1. Hukum dan kebijaksanaan public merupakan
variabel yang memiliki keterkaitan yang sangat erat, sehingga telaah tentang
kebijaksanaan pemerintah semakin dibutuhkan untuk dapat memahami peranan hukum
saat ini.
Peranan Hukum yang berperan untuk membantu
pemerintah dalam usaha menemukan alternative kebijaksanaan yang baik dan
bermanfaat bagi masyarakat.
Apabila pembangunan itu merupakan suatu
kegiatan untuk melakukan perubahan-perubahan didalam masyarakat, maka dapat
dipahami bahwa peranan pemerintah sebagai lembaga eksekutif menjadi semakin
menonjol dan hal ini dapat dilaksanakan dalam tindakan nyata.
Hukum memberikan legitimasi bagi pelaksanaan
kebijaksanaan publik dan alat untuk melaksanakan kebijaksanaan , agar rencana
pembangunan mendapat kekuatan dalam pelaksanaan nya maka perlu mendapatkan
status formal atau dasar hukum tertentu.
Salah satu sarana yang banyak dipilih adalah
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu pada hakekatnya hukumpun
mengandung nilai, konsep-konsep dan tujuan.
Proses perwujudan ide dan tujuan itu merupakan
hakikat dari penegakan hukum. 12)
Sebagai contoh :
Garis-garis Besar Haluan Negara merupakan
salah satu bentuk kebijaksanaan public yang dilegitimasi melalui Ketetapan MPR
mempunyai sifat mengikat bagi seluruh warga masyarakat.
Hukum banyak dipengaruhi oleh unsure-unsur
yang lain yang ada didalam masyarakat. Oleh karena itu hukum tidak lagi hanya
berfungsi sebagai alat control sosial, tetapi juga dipakai sebagai sarana untuk
melakukan perubahan didalam masyarakat. Bahkan hukum pun dapat dipakai sebagai
sarana untuk mewejudkan tujuan-tujuan politik sebagaimana dikemukakan oleh N.
Luhman bahwa hukum berfungsi sebagai social engineering as a political approach
to law, hukum sebagai indicator politik.
PERUMUSAN KEBIJAKSANAAN PUBLIK.
Pada umumnya isi kebijaksanaan yang
diterangkan dalam sistem hukum diletakan dibagian “menimbang” sedangkan
konkretisasinya dituangkan dalam ketentuan pasal-pasalnya terutama tampak dalam
tujuan yang ditetapkan. Harus disadari bahwa hukum adalah hal yang abstrak,
perumusan hukum bukanlah fakta empiris contoh misalnya konsep hak, kewajiban,
kesalahan dan seterusnya merupakan sesuatu yang abstrak, sehingga orang sulit
memahaminya dan bahkan dapat memberikan penafsiran yang berbeda pula.
Itulah sebabnya perumusan secara umum tentang
sesuatu hal dapat menimbulkan perbedaan dalam penerapannya, oleh karena itu
penjabaran secara konkrit sangat diperlukan.
IMPLEMENTASI KEBIJAKSANAAN PUBLIK.
Kegiatan Implementasi sebenarnya merupakan
bagian dari policy making, keadaan ini harus benar-banar disadari mengingat
proses implementasi selalu melibatkan lingkungan dan kondisi yang berbeda
disetiap tempat, karena memiliki ciri-ciri struktur sosial yang tidak sama.
Proses implementasi kebanyakan diserahkan
kepada lembaga pemerintah dalam berbagai jenjang, baik propinsi, maupun
kabupaten.
Langkah-langkah kebijaksanaan meliputi :
1.
menggabungkan rencana tindakan dari suatu program dengan menetapkan tujuan,
standard pelaksana, biaya dan waktu yang jelas.
2.
melaksanakan program dengan memobilisasi struktur, staff, biaya, resources,
prosedur dan metode
3.
membuat jadual pelaksanaan (time schedule) dan monitoring untuk menjamin bahwa
program tersebut berjalan terus sesuai rencana.
Berangkat dari uraian tersebut dapat dikatakan
bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan hendaknya disertai dengan action
plan (rencana tindakan).
Menurut Gladden, klasifikasi kebijaksanaan itu
menurut tinggi rendahnya tingkatan/level yaitu : 13)
1.
kebijaksanaan politis (political policy)
2.
kebijaksanaan eksekutif (executive policy)
3.
kebijaksanaan administratif (administrative policy)
4.
kebijaksanaan teknis atau operasional (technical or operational policy)
Mengenai
tingkatan kebijaksanaan itu telah tampak didalam perundang-undangan di
Indonesia.
DISKRESI
PENJABARAN KEBIJAKSANAAN PUBLIK.
Dalam
rangka pelaksanaan kebijaksanaan publik, para birokrat dapat menentukan
kebijaksanaannya sendiri untuk menyesuaikan dengan situasi dimana mereka berada
terutama berkaitan dengan ketersediaan sumber daya, seperti informasi, dana
tenaga ahli, tenaga terampil maupun mengenai pengetahuan yang mereka miliki.
Pemberian
otonomi dan diskresi disertai sumber-sumber daya yang memadai merupakan dimensi
yang paling strategis didalam melaksanakan suatu aktivitas. Ini berarti segala
aktivitas yang dikehendaki agar dilakukan oleh pemegang peran lebih banyak
ditentukan oleh aktivitas para birokrat itu sendiri.
Pada
akhirnya kita ketahui bahwa untuk memahami hokum tidak cukup memahami hukum
dalam bentuk rumusan pasal-pasal yang hanya bergerak di bidang penafsiran,
penerapan dan konstruksi hukum, melainkan memahami hukum dari sisi yang lain.
Karena
hukum dibuat manusia untuk mengatur hidup manusia maka tidak terlepas dari
unsure manusia, memahami peranan hukum dalam mewujudkan nilai-nilai dasar hukum
khususnya nilai keadilan dalam masyarakat, selain itu diharapkan agar tujuan
yang telah ditetapkan dapat tercapai secara maksimal dan dapat mengantar kita
menuju masyarakat yang sejahtera.
2.
HUKUM DAN KEBIJAKSANAAN PEMERATAAN PEMBANGUNAN.
Dasar Hukum nya adalah Undang-undang Dasar
1945 pasal 27 ayat (2) bahwa “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
Untuk mewujudkan semua itu, maka kunci
persoalan sebenarnya terletak dalam tekad politik (political well). Dalam
melaksanakan pembangunan maka usaha peningkatan pendapatan nasional harus
sekaligus menjamin pembagian pendapatan yang merata bagi seluruh rakyat sesuai
dengan rasa keadilan dalam rangka diwujudkannya azas keadilan sosial.
Adanya 8 (delapan) jalur pemerataan dalam
Repelita III sebagai berikut :
1.
pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak, khususnya paangan, sandang
dan perumahan.
2.
Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan,
3.
Pemerataan Pembagian Pendidikan
4.
Pemerataan kesempatan kerja
5.
Pemerataan kesempatan berusaha
6.
Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi
muda dan kaum wanita.
7.
Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air.
8.
Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
Peranan
Pemerintah dirancangkan untuk memberantas kemiskinan terutama dipedesaan.
Menjelang
pelaksanaan Repelita III, pada waktu itu Presiden Soeharto telah memberikan dua
pokok kebijaksanaan yang memberi ciri tersendiri pada pembangunan sekarang ini,
yaitu :
1.
Mengusahakan berkurangnya jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.
2.
Melaksanakan delapan jalur pemerataan, campur tangan dan peran aktip dan
bantuan pemerintah bagi mereka keluar dari lingkaran kemiskinan ini menjadi
penting.
Perombakan
Tata Ekonomi
Pembangunan
untuk banyak negara berkembang diarahkan mencapai laju pertumbuhan pendapatan
per jiwa yang oktimal.
Hal
ini diperkirakan dapat dicapai apabila jumlah Produk nasional Bruto meningkat
lebih cepat dari pertambahan Penduduk.
Untuk
negara berkembang yang masih lemah sektor modernnya dan belum maju industrinya
masih menitikberatkan pembangunannya pada sektor pertanian, kemampuan
masyarakatnya untuk menabung masih sangat kecil, akibatnya proses pembangunan
pendapatan dunia semakin pincang dan sangat menguntungkan negara-negara maju.
Dalam
keadaan serupa itu tidaklah menghiraukan apabila di forum internasional tumbuh
keinginan untuk merombak tata ekonomi yang berlaku dewasa ini disamping adanya
kelompok negara berkembang melakukan perjuangan menegakkan tata ekonomi
internasional baru. Pada saat ini makin jelas tindakan lembaga-lembaga
internasional dan beberapa negara industri untuk mengutamakan perbaikan nasib
rakyat yang hidup pada kondisi miskin absolut.
Seiring
dengan itu muncullah di banyak dunia ketiga pembicaraan soal pemerataan
pendapatan. Kredit internasional pun semakin dituntut untuk mengarahkan
programnya kepada si miskin secara langsung.
Kunci
Keberhasilan Pemerintah
Adanya
beberapa komponen sistem hukum yang berkaitan dengan kebijaksanaan pemerataan,
antara lain ; melakukan tindakan-tindakan konkrit dan positip sebagai
implementasinya yaitu fokus perhatian pemerintah perlu diarahkan pada rakyat
miskin yang hidup di desa. Walaupun desa merupakan hasil pembangunan secara
nasional tetapi tetap merupakan satu kesatuan yang utuh dalam rangka
pembangunan secara menyeluruh, melihat manusia secara utuh.
Sebagai
konsekwensi logis dari itu semua, maka kegiatan pembangunan yang dilakukan
bukan hanya kegiatan pembangunan yang dilakukan bukan hanya kegiatan fisik
tetapi juga perubahan sikap mental yang menghambat pembangunan.
Dalam
TAP MPR No. IV/MPR/1978, maka peranan hukum tidak hanya sebagai dasar dari
pelaksanaan kebijakaksanaan melainkan juga sebagai sarana yang menyalurkan
kebijaksanaan pemerataan untuk menciptakan keadaan-keadaan baru, atau mengubah
sesuatu ke arah yang dicita-citakan.
3.
Hukum dan Pembangunan
Pembangunan
berarti perubahan terus menerus dan mencakup bidang-bidang perilaku, ekonomi
dan kelembagaan, karena pada dasarnya pembangunan merupakan proses politik yang
ditopang oleh hukum agar hukum lebih berperan dalam pembangunan tentunya
diperlukan pendekatan lain yang bersifat interdisipliner agar hukum dapat pula
bertindak sebagai motor penggerak pembangunan dan membentuk masyarakat ke arah
perwujudan nilai-nilai pembangunan. Apabila pertalian antara hukum dan
pembangunan dilihat sebagai suatu proses untuk mengubah masyarakat maka hukum
dapat berperan dalam bermacam-macam fungsi.
Hukum
secara sadar dapat dipakai oleh manusia untuk mengubah lingkungan hidupnya.
Dengan demikian hukum sangat diharapkan peranannya secara efektip dalam
pembangunan.
Apabila
hukum berperan dalam pembangunan, baik sebagai alas dasar maupun sarana
pengaturan dalam arti sebagai sarana bagi proses pembaharuan masyarakat, maka
upaya-upaya pengangkatan harkat dan martabat manusia dapat terwujud dan dengan
demikian pembangunan akan lebih bermakna.
Hukum
dan Social Engineering
Dalam
era pembangunan seperti sekarang ini telah mendorong agar hukum mapu
menampakkan sosoknya sebagai sarana pembaharuan masyarakat dan juga sebagai
proses perubahan dan pengembangan masyarakat untuk proses seperti ini maka para
sarjana hukum yang dihasilkan oleh studi hukum tidak hanya memiliki
keterampilan sebagai “tukang“ melainkan suatu keahlian yang mampu menggunakan
sarana-sarana hukum untuk menciptakan masyarakat sesuai dengan yang
dicita-citakan.
Sarjana
hukum harus mampu sebagai social engineer yang berperan sebagai pembaharu
sosial, pertencana sosial atau arsitek sosial. Peranan tersebut diutamakan
dengan senantiasa mendorong peran mahasiswa untuk melihat peranan hukum sebagai
fungsi masyarakat.
Mereka
tidak hanya menerima hukum sebagai hukum begitu saja melainkan berusaha untuk
dapat memberikan penjelasan mengenai kehadiran hukum dalam masyarakat dengan
segala seluk beluknya.
Sarjana
Hukum yang Handal
Adalah
memenuhi kriteria antara lain :
(1)
Mampu berbuat secara kreatip daripada hanya mengembangkan keterampilan yang
reproduktif.
(2)
Mampu menyelesaikan masalah-masalah hukum dalam konteks sosialnya.
(3)
Mampu mengubah pola pikir bahwa ilmu hukum itu juga policy oriented.
(4)
Mampu sebagai perencana sosial dan seorang perunding sosial untuk
lembaga-lembaga hukum yang baru.
(5)
Mampu menafsirkan hukum dan juga mendapatkan atau menemukan hukum, jadi bukan
menjadi mesin hukum saja yang melihat hukum sebagai seperangkat
peraturan-peraturan atau pasal-pasal.
4.
Paradigma Reversal
Pemberdayaan
Hukum melaui Pembangunan Alternatif
Dalam
era roformasi setelah runtuhnya rezim orde baru maka terjadi penggeseran bidang
politik maka hukumpun ikut bergeser. Pada era ini diharapkan konfigurasi
politik berubah ke arah yang demokratis sehingga menghasilkan produk-produk hukum
yang lebih responsif, jadi tidak terbatas pada upaya untuk menghasilkan
produk-produk hukum saja, melainkan sampai pada penegakannya di masyarakat.
Dalam
pembangunan hukum hendaknya dilihat secara utuh melalui pendekatan holistik
mengingat hukum bukan sekedar formalitas normatif melainkan unsur kultur pun
perlu mendapat perhatian disamping struktur dan subtansinya.
Para
lawyers tidak hanya sebagai para profesional yang bekerja secara formalitas
normatif, tetapi juga harus peka terhadap kultur yang mengalami perubahan
maupun pendidikan politik sehingga mereka pun dapat memberikan layanan kepada
pihak yang miskin agar dapat dibangun pengetahuannya akan hak-hak hukumnya.
Para
lulusan dari Fakultas Hukum tidak hanya memiliki keahlian hukum maupun keahlian
profesional melainkan juga dapat memahami, membaca dan menjelaskan fenomena
hukum yang terjadi di masyarakat disamping memiliki kemampuan di bidang legal
drafting.
Pendekatan
alternatif terhadap pembangunan berfokus pada upaya untuk memampukan kaum
miskin, melindungi kepentingannya, hak-haknya, kewajibannya sehingga mereka
tidak lagi kaum yang tersingkirkan.
5.
Perlindungan Hukum terhadap Pasien
Kasus
Malpractice
Penyebab
terjadinya malpractice adalah tindakan dokter yang kurang hati-hati dalam
merawat pasien yang menyebabkan kerugian pasien.
Usaha-usaha
untuk mengurangi terjadinya malpractice yaitu :
(1)
Penanaman nilai-nilai moral yang terkandung dalam KEKI (Kode Etik Kedokteran
Indonesia) sebaiknya dilakukan sendini mungkin,
(2)
Pemberian izin praktek dokter harus diperketat, misalnya dokter spesialis tidak
boleh praktek sebagai dokter umum,
(3)
Perlu dilakukan peninjauan secara berkala terhadap izin praktek,
(4)
Peningkatan pengetahuan maupun ketrampilan dokter perlu dilakukan melalui
diskusi-diskusi maupun sara yang lain,
(5)
Dokter harus memenuhi hak-hak pasien sebagaimana telah dijelaskan dimuka,
(6)
Dokter yang melanggar KEKI harus dikenai sanksi yang tegas, misalnya pencabutan
izin sementara prakteknya.
Hak-hak
pasien dalam transaksi teurapentik dengan dokter yaitu :
-
Persetujuan dari pasien sebelum perawatan,
-
Informasi yang lengkap dari dokter
Barulah
terjadi transaksi dokter – pasien yang bebas dari tekanan, paksaan maupun
kecurangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar