PENDAHULUAN
Manusia selalu
berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh
kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan
melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia
membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian
yang berlaku di alam itu dapat dimengerti.
Ilmu pengetahuan harus dibedakan dari fenomena
alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang tunduk pada hukum-hukum yang
menyebabkan fenomena itu muncul. Ilmu pengetahuan adalah formulasi hasil
aproksimasi atas fenomena alam atau simplifikasi atas fenomena tersebut.
Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal
menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut
menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi merupakan
struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih
tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah
menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya
kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah
pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.
Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah,
manusia melakukan penataan pengetahuannya agar terstruktur dengan jelas.
Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu?
lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab;
“Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu
tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa
saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran,
yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran
dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) . Dalam bahasan ini, makna
“kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”.
Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi
(relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan (Wilardo,
1985:238-239).
PEMBAHASAN
Teori Korespondensi (The Correspondence Theory
of Thruth) memandang bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara pernya-taan
tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu sendiri. Contoh: “Ibu kota
Republik Indonesia adalah Jakarta”. Teori Koherensi/Konsistensi (The
Consistence/Coherence Theory of Truth) memandang bahwa kebenaran ialah
kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang
sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar. Teori
Pragmatis (The Pragmatic Theory of Truth) memandang bahwa “kebenaran suatu
pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis”; dengan kata lain, “suatu pernyataan adalah
benar jika pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia”.
Kata kunci teori ini adalah: kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability),
akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequencies).
Kelima macam teori kebenaran yang akan dibahas
berikut ini adalah berbagai cara manusia memperoleh kebenaran yang sifatnya
relatif atau nisbi. Kebenaran absolut atau kebenaran mutlak berasal dari Tuhan
yang disampaikan kepada manusia melalui wahyu. Alam dan kehidupan merupakan
sumber kebenaran yang tersirat dari tuhan untuk dipelajari dan diobservasi guna
kebaikan umat manusia.
Teori Korespondensi
(Correspondence Theory of Truth)
Teori kebenaran korespondensi adalah teori
yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika
berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek
yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar
jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta.
Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan
menyatakan apa adanya. Teori ini sering diasosiasikan dengan teori-teori
empiris pengetahuan. Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang
paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional
karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran
pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya.
Dua kesukaran utama
yang didapatkan dari teori korespondensi adalah: Pertama, teori korespondensi
memberikan gambaran yang menyesatkan dan yang terlalu sederhana mengenai
bagaimana kita menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan dari suatu pernyataan.
Bahkan seseorang dapat menolak pernyataan sebagai sesuatu yang benar didasarkan
dari suatu latar belakang kepercayaannya masing-masing. Kedua, teori
korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran kita
harus melihat setiap pernyataan satu-per-satu, apakah pernyataan tersebut
berhubungan dengan realitasnya atau tidak.” Lalu bagaimana jika kita tidak
mengetahui realitasnya? Bagaimanapun hal itu sulit untuk dilakukan. Ketiga,
Kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena
kurang cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi. Di samping itu
teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang nonempiris atau
objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya
objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam
pembentukan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan
subjek.
Teori Koherensi
(Coherence Theory of Truth)
Teori kebenaran koherensi adalah teori
kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu
pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari
pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini
mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain. Seperti sebuah percepatan
terdiri dari konsep-konsep yang saling berhubungan dari massa, gaya dan
kecepatan dalam fisika. Teori Koherensi/Konsistensi (The Consistence/Coherence
Theory of Truth) memandang bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu
pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu
diketahui, diterima dan diakui sebagai benar. Suatu proposisi benar jika
proposisi itu berhubungan (koheren) dengan proposisi-proposisi lain yang benar
atau pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan
pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Dengan demikian suatu
putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian (pembenaran) oleh
putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui,diterima dan diakui
benarnya. Karena sifatnya demikian, teori ini mengenal tingkat-tingkat
kebenaran. Disini derajar koherensi merupakan ukuran bagi derajat kebenaran.
Contoh: “Semua manusia akan mati. Si Fulan adalah seorang manusia. Si Fulan
pasti akan mati.” “Sukarno adalah ayahanda Megawati. Sukarno mempunyai puteri.
Megawati adalah puteri Sukarno”.
Seorang sarjana Barat A.C Ewing (1951:62)
menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna
merupakan suatu idel yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat
dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana
pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat
teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa
berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa
2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan
yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja.
Teori koherensi, pada kenyataannya kurang
diterima secara luas dibandingkan teori korespondensi. Teori ini punya banyak
kelemahan dan mulai ditinggalkan. Misalnya, astrologi mempunyai sistem yang
sangat koheren, tetapi kita tidak menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak
hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga
hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu
pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang
terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui kebenarannya.
Matematika adalah bentuk pengetahuan yang
penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan teori koheren. Sistem matematika
disusun diatas beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar (aksioma). Dengan
mempergunakan beberapa aksioma, maka disusun suatu teorema. Dan diatas
teorema-lah, maka dikembangkan kaidah-kaidah matematika yang secara keseluruhan
merupakan suatu sistem yang konsisten.
Salah satu dasar teori ini adalah hubungan
logis dari suatu proposisi dengan proposisi sebelumnya. Proposisi atau
pernyataan adalah apa yang dinyatakan, diungkapkan dan dikemukakan atau
menunjuk pada rumusan verbal berupa rangkaian kata-kata yang digunakan untuk
mengemukakan apa yang hendak dikemukakan. Proposisi menunjukkan pendirian atau
pendapat tentang hubungan antara dua hal dan merupakan gabungan antara faktor
kuantitas dan kualitas. Contohnya tentang hakikat manusia, baru dikatakan utuh
jika dilihat hubungan antara kepribadian, sifat, karakter, pemahaman dan
pengaruh lingkungan. Psikologi strukturalisme berusaha mencari strukturasi
sifat-sifat manusia dan hubungan-hubungan yang tersembunyi dalam
kepribadiannya.
Dua masalah yang didapatkan dari teori
koherensi adalah: (1) Pernyataan yang tidak koheren (melekat satu sama lain)
secara otomatis tidak tergolong kepada suatu kebenaran, namun pernyataan yang
koheren juga tidak otomatis tergolong kepada suatu kebenaran. Misalnya saja
diantara pernyataan “anakku mengacak-acak pekerjaanku” dan “anjingku
mengacak-acak pekerjaanku” adalah sesuatu yang sulit untuk diputuskan mana yang
merupakan kebenaran, jika hanya dipertimbangkan dari teori koherensi saja.
Misalnya lagi, seseorang yang berkata, “ Sundel Bolong telah mengacak-acak
pekerjaan saya!”, akan dianggap salah oleh saya karena tidak konsisten dengan
kepercayaan saya. (2) sama halnya dalam mengecek apakah setiap pernyataan
berhubungan dengan realitasnya, kita juga tidak akan mampu mengecek apakah ada
koherensi diantara semua pernyataan yang benar.
Teori Pragmatik (The
Pragmatic Theory of Truth)
Teori kebenaran
pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh
referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu
dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut
bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis. Teori Pragmatis (The Pragmatic Theory of
Truth) memandang bahwa “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria
apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis”; dengan
kata lain, “suatu pernyataan adalah benar jika pernyataan itu mempunyai
kegunaan praktis dalam kehidupan manusia”.
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme,
intelektualisme dan rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat
(utility), kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan
(Titus, 1987:241), Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu
aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya
sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara
praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran itu
membawa manfaat bagi hidup praktis dalam kehidupan manusia. Kata kunci teori
ini adalah: kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability), akibat atau
pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequencies). Teori ini pada
dasarnya mengatakan bahwa suatu proposisi benar dilihat dari realisasi
proposisi itu. Jadi, benar-tidaknya tergantung pada konsekuensi, kebenaran
suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis, sepanjang proposisi itu berlaku atau
memuaskan.
Menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu
pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional
dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika
pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis
bagi kehidupan manusia” . Dalam pendidikan, misalnya di UIN, prinsip
kepraktisan (practicality) telah mempengaruhi jumlah mahasiswa pada
masing-masing Fakultas. Tarbiyah lebih disukai, karena pasar kerjanya lebih
luas daripada fakultas lainnya. Mengenai kebenaran tentang “Adanya Tuhan” atau
menjawab pertanyaan “Does God exist ?”, para penganut paham pragmatis tidak
mempersoalkan apakah Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether
really or ideally). Yang menjadi perhatian mereka adalah makna praktis atau
dalam ungkapan William James “ ….they have a definite meaning for our ptactice.
We can act as if there were a God”. Dalam hal ini, menurut penganut pragmatis,
kepercayaan atau keyakinan yang membawa pada hasil yang terbaik; yang menjadi
justifikasi dari segala tindakan kita; dan yang meningkatkan suatu kesuksesan
adalah kebenaran. Teori pragmatis meninggalkan semua fakta, realitas maupun
putusan/hukum yang telah ada. Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum
pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu
bermanfaat atau memuaskan.
Apa yang diartikan dengan benar adalah yang
berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless).
Karena istilah “berguna” atau “fungsional” itu sendiri masih samar-samar, teori
ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak. Pragmatisme memang
benar untuk menegaskan karakter praktis dari kebenaran, pengetahuan, dan
kapasitas kognitif manusia. Tapi bukan berarti teori ini merupakan teori yang
terbaik dari keseluruhan teori. Kriteria pragmatisme juga diergunakan oleh
ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara
historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin
tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat
pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka
pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat
demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan
baru, maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya.
Teori Struktural
Paradigmatik
Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu
berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan
yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut.
Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini
menekankan bahwa serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk
dipelajari oleh kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu
tentang realitas yang telah diterima secara apriori oleh kelompok tersebut.
Pandangan apriori ini disebut paradigma oeh Kuhn dan world view oleh Sardar.
Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat
sains atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki
suatu paradigma bersama.
Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang
kokoh karena adanya paradigma. Sebagai konstelasi komitmen kelompok, paradigma
merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi determinan penting dari
perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan
cara yang sama. Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam
penerapan nilai-nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu
pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima
dalam hukum tak tertulis.
Pengujian suatu paradigma terjadi setelah
adanya kegagalan berlarut-larut dalam memecahkan masalah yang menimbulkan
krisis. Pengujian ini adalah bagian dari kompetisi di antara dua paradigma yang
bersaingan dalam memperebutkan kesetiaan masyarakat sains. Falsifikasi terhadap
suatu paradigma akan menyebabkan suatu teori yang telah mapan ditolak karena
hasilnya negatif. Teori baru yang memenangkan kompetisi akan mengalami
verifikasi. Proses verifikasi-falsifikasi memiliki kebaikan yang sangat mirip
dengan kebenaran dan memungkinkan adanya penjelasan tentang kesesuaian atau
ketidaksesuaian antara fakta dan teori. Perubahan dari paradigma lama ke
paradigma baru adalah pengalaman konversi yang tidak dapat dipaksakan. Adanya
perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu paradigma
dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa mendatang dapat
menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas. Adanya
jaringan yang kuat dari para ilmuwan sebagai peneliti konseptual, teori,
instrumen, dan metodologi merupakan sumber utama yang menghubungkan ilmu
pengetahuan dengan pemecahan berbagai masalah.
Teori Performatik
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran
diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Contoh pertama
mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau
keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa
ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa rezim
orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat.
Ketika rezim orde baru, PKI adalah partai terlarang dan semua hal yang
berhubungan atau memiliki atribut PKI tidak berhak hidup di Indonesia. Contoh
lainnya pada masa pertumbuhan ilmu, Copernicus (1473-1543) mengajukan teori
heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang difatwakan gereja. Masyarakat
menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh gereja walaupun
bertentangan dengan bukti-bukti empiris.
Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus
mengikuti kebenaran performatif. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa
pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya.
Kebenaran performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun,
kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya.
Masyarakat yang mengikuti kebenaran
performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang
inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang
otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat,
kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar
keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari
kebenaran.
PENUTUP
Dalam kenyataannya
kini, kriteria kebenaran cenderung menekankan satu atu lebih dati tiga
pendekatan (1) yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita, (2) yang benar
adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen, (3) yang benar adalah yang
membantu dalam perjuangan hidup biologis. Oleh karena teori-teori kebenaran
(koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu lebih bersifat saling
menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori tersebut dapat
digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran adalah
persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman
atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi yang
sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya
dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita
uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis.
Uraian dan ulasan mengenai berbagai teori
kebenaran di atas telah menunjukkan kelebihan dan kekurangan dari berbagai
teori kebenaran. Teori Kebenaran Kelebihan Kekurangan Korespondensi sesuai
dengan fakta dan empiris kumpulan fakta-fakta Koherensi bersifat rasional dan
Positivistik Mengabaikan hal-hal non fisik Pragmatis fungsional-praktis tidak
ada kebenaran mutlak Performatif Bila pemegang otoritas benar, pengikutnya
selamat Tidak kreatif, inovatif dan kurang inisiatif Konsensus Didukung teori
yang kuat dan masyarakat ilmiah Perlu waktu lama untuk menemukan kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Inu kencana Syafi’i,
Filsafat kehidupan (Prakata), Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Abbas, H.M., 1997, “Kebenaran Ilmiah” dalam: Filsafat
Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Intan Pariwara, Yogyakarta.
Awing, A.C., The Fundamental Questions of
Philosophy, London: Routledge and Kegan Paul, 1951.
Titus, Harold H., dkk., Living Issues in
Philasophy, Lihat juga Terj. H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat,
Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat
II, Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Suriasumantri, Junjun S. 1984. Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
William James. The varieties of religious
experience. New York: The Penguin American Library. 1982.
Jujun S. Sumiasumantri. Filsafat Ilmu,Sebuah
Pengantar Populer, Jakarata: Pustaka Sinar harapan, 1990.
liatny aja udah pusing ini tulisannya ,,,hhhhhh
BalasHapus